BAB
I
PENDAHULAN
A.
Latar
Belakang.
Drama
berasal dari bahasa Yunani yang berarti gerak atau perbuatan. Pada awalnya di
Yunani, drama muncul dari rangkaian keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap
dewa-dewa. Namun ketika drama muncul di Barat untuk upacara agama, drama
dilaksanakan di lapangan terbuka sedangkan para penonton duduk melingkar atau
membentuk setengah lingkaran dan upacara dilakukan di tengah lingkaran
tersebut. Perkembangan drama mulai bergeser dari ritual keagamaan menuju kepada
suatu oratoria, suatu seni berbicara yang mempertimbangkan intonasi untuk
mendapatkan efektivitas komunikasi.[1]
Dengan
kata lain drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya
memperlihatkan secara verbal adanya dialogue
atau percakapan di antara tokoh-tokoh yang ada dalam naskah tersebut.[2]
Sedangkan menurut Sudjiman, drama adalah karya sastra yang bertujuan menggambarkan
kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan emosi lewat lakuan dan dialog.[3]
Drama sebagai pertunjukan lakon mutlak karena drama merupakan satu-satunya seni
yang paling kompleks dan drama merupakan satu-satunya seni yang paling objektif
dari pada seni yang lainnya.
Sebagai
suatu genre yang mempunyai kekhususan maka drama lebih difokuskan kepada bentuk
karya yang bereaksi langsung secara konkret. Kekhususan drama disebabkan tujuan
drama ditulis pengarangnya tidak hanya berhenti pada tahap pembeberan peristiwa
untuk dinikmati secara artistik imajinatif oleh para pembacanya dan diteruskan
untuk dipertontonkan dalam suatu penampilan gerak dan berprilaku konkret yang
dapat ditonton.[4]
B. Rumusan Masalah.
1. Menjelaskan
biografi Arthur S. Nalan.
2. Menganalisis
drama Sobrat karya Arthur S. Nalan.
C. Tujuan Masalah.
1. Mengetahui
biografi Arthur S. Nalan.
2. Mengetahui
analisis drama Sobrat karya Arthur S.
Nalan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Arthur S. Nalan.
Arthur
Supardan Nalan Lahir di Majalengka, Jawa Barat, 21 Februari, 1959.
Berlatar belakang pendidikan Sarjana Muda Jurusan Teater ASTI Bandung (1982),
Sarjana Seni Jurusan Tari STSI Surakarta (1989) dan Magister Humaniora
Universitas Gajah Mada (1993). Semasa kuliah ia telah aktif sebagai Anggota
Studi Klub Teater (STB) Bandung (1978-1983).
Setamat
kuliah, aktif dalam lingkungan almamaternya, antara lain, pernah menjadi Dosen
ASTI/STSI Bandung, pada mata kuliah : Teater Rakyat, Kebudayaan Sunda, Kajian
Seni Pertunjukan, Penulisan Lakon, Akting dan Direkting, Metode Riset. Menjadi
Asisten Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan ASTI Bandung (1991), Ketua Jurusan
Teater STSI Bandung (1994), Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat STSI (1996), Sekretaris Senat STSI Bandung (2000), terakhir sebagai
Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Selain itu ia juga pernah
menjabat sebagai Ketua Kelompok Studi Etnoteater dan Teater
WOT (1999), Ketua IV Senawangi Bidang Riset dan Pemberdayaan SDM
pewayangan (2006-2011).
Sejak
tahun 1984, ia kerap menulis naskah drama. Sudah banyak naskah yang ia tulis,
bahkan sebagian besar naskah tersebut pernah di pentaskan oleh berbagai grup
teater. Bahkan tokoh teater yaitu WS. Rendra bersama Bengkel teaternya pernah
mementaskan karya Arthur S. Nalan yang berjudul Sobrat, di Taman Ismail Marzuki tahun 2005 lalu.
Sobrat
adalah naskah drama karyanya tahun 2003 lalu yang dinobatkan sebagai pemenang
sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta. Penghargaan lainnya
yang pernah ia dapat yaitu lewat karya Jalan Perkawinan (Skenario Film) keluar
sebagai Pemenang I dan mendapatkan penghargaan dari Direktorat Film Kebudayaan
dan Pariwisata (2006).
Karya-karya
yang ditulisnya antara lain Dunianya Didong
(1984), Si Samudra (1984), Hujan Keris (1984), Anak Bajang dan Anak Gembala (1986), Serat Santri Kembang (1986), Si
Badul dan Anak Ondel-Ondel (1987), Syair
Ikan Tongkol (2002), Lima Puan dan
Enam Tuan (2003), Sobrat
(2004), Jalan Perkawinan (2004), Ibunda Seni Sunda (2006).
Selain dikenal sebagai seniman yang
sangat peduli akan perkembangan kegiatan festival seni budaya di tanah air
khususnya di kota Bandung. Arthur juga sering menjadi juri dalam lomba
penulisan naskah drama, anatara lain ia menjadi juri dalam lomba naskah drama
Sunda yang digelar Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PPSS).
B. Sinopsis Drama Sobrat.
Sebuah
kisah pada masa penjajahan belanda. Perbudakan, perjualbelian perempuan,
perjudian, dan kekuasaan menjadi cermin kehidupan. Siapa yang memiliki uang,
dialah sang pemenang. Cara–cara yang salah bisa menjadi benar ketika
kepingan-kepingan emas berada di tangan.
Sobrat
pemuda kampung yang terbujuk rayuan Inang Honar pencari tenaga kuli sebuah
pertambangan emas di bukit kemilau. Bujuk rayu, hasutan dan tipu muslihat membawa
Sobrat pada dunia Khayal, dunia perjanjian roh, dunia yang penuh dengan nafsu
birahi untuk menjadi pemenang.
Keinginan
balas dendam yang kuat kepada orang-orang yang telah merebut kebahagiaannya
membuat Sobrat berjuang, bahkan membuat perjanjian dengan Silbi atau wanita
dari dunia gaib. Sobrat menjadi penakhluk Bukit Kemilau dan akhirnya dia bisa
merebut wanita pujaan hatinya yaitu Rasminah dari tangan Tuan Balar sang
pemilik Bukit Kemilau.
Namun
ketika Sobrat hendak pulang ke kampung Lisung dengan keping-kepingan emas yang
telah di tangannya ia mendapatkan kabar buruk dari Wak Lopen bahwa ibu Sobrat
telah meninggal dunia sehingga sobrat pun menyesal mengikuti hawa nafsunya.
Ketika
Silbi atau wanita dari dunia gaib itu mengetahui bahwa Sobrat telah menikah
dengan Rasminah maka Silbi merasa dikhianati karena Sobrat telah berjanji dan
telah menjadi suaminya. Kemudian Sobrat bermimpi, Silbi atau wanita dari dunia
gaib itu meniup tangan dan menciumnya namun ketika ia terbangun dengan kagetnya
ia telah menjadi tuli dan bisu karena ingkar janji dengan Silbi. Sedangkan
Rasminah sang istri sangat panik dan bertanya-tanya, kenapa suaminya dapat
menjadi tuli dan bisu.
C. Analisis Drama Sobrat.
Studi sastra bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis sastra sebagai
suatu sistem tanda-tanda apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti.[5] Pendekatan objektif
adalah pendekatan yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra.[6]
Jadi karya sastranya menjadi inti dalam pendekatan objektif yang akan diteliti
dengan struktur karya sastra yang kompleks dan multidimensional. Dalam hal ini
karya sastra milik Arthur S. Nalan yang berjudul Sobrat akan di analisis menggunakan pendekatan objektif.
1.
Analisis
Intrinsik drama Sobrat:
1.1
Tema.
Tema adalah ide yang
mendasari suatu cerita. Tema yang terdapat pada drama Sobrat adalah tentang kehidupan sosial dari zaman penjajahan
Belanda, berbagai konflik seputar perburuhan dan rasa setia kawanan yang
tinggi.
1.2
Tokoh
dan Penokohan.
Tokoh adalah pelaku
yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin
suatu cerita. Istilah tokoh juga disebut karakter atau watak. Istilah penokohan
juga sering disamakan dengan istilah perwatakan atau karakterisasi. Dalam drama
Sobrat terdapat beberapa tokoh yaitu;
·
Sobrat adalah tokoh “aku” sebagai
pencerita dan menjadi tokoh utama. Sobrat adalah seorang pemuda kampung Lisung
yang bekerja sebagai kuli kontrak di Bukit Kemilau. Ia adalah tokoh yang gagah
berani, mempunyai rasa kesetiakawanan yang tinggi, ramah, tetapi mudah di tipu.
Sobrat:
Mandor, jangan ditendang-tendang begitu! Dia kawan ku, Mandor!
(mendekati Doyong) kamu tidak apa-apa, Yong?? (Sobrat, h.20).
·
Samolo dan Doyong adalah sahabat Sobrat.
Mereka juga pemuda kampung Lisung yang bekerja sebagai kuli kontrak di Bukit
Kemilau. Mereka mempunyai rasa kesetiakawanan yang tinggi. Seperti pada narasi
berikut;
Doyong
yang terluka pundaknya tak meraung lagi. Justru meringis-ringis. Samolo
membawanya pergi. (Sobrat, h.37).
·
Mimi adalah nama lain dari ibu Sobrat.
Mimi merupakan tokoh yang penyayang dan memiliki sifat religius. Ia tidak mau
anaknya terbelenggu dalam lingkaran setan. Ia selalu menasehati anaknya Sobrat
agar tidak terbawa hawa nafsunya.
Mimi:
Brat... sobrat. Kerjaanmu hanya ngadu kotok, kasihan, kotok-kotok itu
diadu, memangnya kamu mau diadu-adu seperti kotok, bocok, berdarah, sakit lalu
mati? Kamu mau? Kita ini orang miskin, tidak punya apa-apa. Mamamu tak
mewariskan apa-apa, kalau bukan ngangon kebo milik Ngabihi, si Donto! (Sobrat, h.56).
·
Wak Lopen adalah seorang pemilik warung
yang menjadi saksi keberangkatan Sobrat ke tanah sebrang. Wak Lopen merupakan
tokoh yang baik dan ia yang memberitahukan bahwa miminya Sobrat telah
meninggal.
Wak Lopen: Maafkan aku, Sobrat. Mimimu telah pulang
dengan tenang di Giri Tresnan, di bawah pohon ki Hujan berdampingan dengan
mamamu. (Sobrat, h.55)
·
Wak Bromo atau Surobromo merupakan kawan
sekaligus menjadi guru judi sobrat. Ia yang mengajarkan Sobrat bagaimana
bermain judi yang handal. Ia pun yang mengajari sobrat bagaimana menjadi
menjadi seorang penipu.
Bromo:
Berbohong itu diharuskan di sini. Seperti aku. Aku bohongi Lampok supaya
mau denganku. Setelah itu beri dia rayuan, cubitan, gigitan dan tindihan. Dia
tahu aku bohong, tapi dia ak pernah bilang. Karena di bukit Kemilau ini selain
bertaburan biji emas yang tersembunyi, juga bertaburan bohong, komplot,
kelicikan, khianat, persaudaraan, berahi dan nafsu berjudi (menghisap rokok lama sekali) kamu pernah
berjudi? (Sobrat, h.27).
·
Rasminah adalah Nyai/Istri Sobrat.
Rasminah merupakan kekasih Sobrat yang dinikahi oleh Tuan Bulsak dan akhirnya
dapat menikah dengan sobrat setelah ia menjadi kaya. Rasminah ialah tokoh yang
cantik, lemah lembut dan penyayang namun ia pasrah di jual oleh kakaknya sendiri.
Rasminah: Tidak, saya dijual kakak saya
(menangis) kebo kami satu-satunya mati. Bapak miskin, sawah tidak punya…. Dia
kusir gerobak…. Tak ada kebo, tak ada gerobak…. Lalu saya dijual kakak saya
yang suka judi. Namanya Lamba…. Saya mau diberi emas, ternyata dibawa jadi
kuli. (Sobrat, h.16).
·
Mongkleng adalah hawa nafsu yang selalu
menemani Sobrat kemanapun ia pergi. Tokoh ini digambarkan selalu menjerumuskan
Sobrat.
Mongkleng: Jangan takut, sekarang
waktunya kamu jadi laki-laki! Gauli dia dengan gairah berahi. Aku akan turut
dalam tarikan napasmu yang berbunyi naik turun seperti deru angin buritan! (tertawa). (Sobrat, h.31).
·
Inar Honar adalah seorang wanita pencari
tenaga kerja yang mengajak Sobrat dan pemuda kampung lainnya ke Bukit Kemilau.
Ia menjanjikan kekayaan yang berlimpah, tetapi nyatanya jauh dari harapan,
Sobrat hanya menjadi kuli kontrak di Bukit Kemilau.
Inar Honar: Siapa penakut, boleh mundur!
(menunggu reaksi) Ternyata semuanya
adalah pemberani. Di sana nanti kalian akan dapatkan apa yang kalian inginkan,
emas gadis dan kebebasan hidup. (Pada Sobrat) kamu merasa bahagia malam ini.
Tapi ingat anak muda, kebahagiaanmu ini belum seujung tahi kuku kalau
dibandingkan dengan kebahagianmu di tanah seberang nanti, tanah yang
berpendar-pendar karena kemilau emas, gadis-gadisnya yang berkulit kuning
bersih dan halu, dan satu lagi…. Kebebasan hidup akan kamu reguk sepuasnya. (Sobrat, h.4).
·
Silbi Gendruwi adalah mahluk halus
penguasa bukit kemilau yang menolong Sobrat ketika ia jatuh ke dalam sumur.
Silbi merupakan tokoh yang cantik, baik dan selalu menolong Sobrat;
Silbi: Benar,
seharusnya kamu sudah mati. Berkat pertolonganku, kamu tidak jadi mati. (Sobrat, h.38).
Namun Silbi berubah
menjadi jahat ketika Sobrat mengingkari janjinya.
Silbi: Sobrat,
bukankah kamu suamiku? Tapi kamu menikahi nyai itu! lagipula mahkota itu tak
ada lagi pada kamu! Kamu tanggung sendiri akibatnya! (Meniup telinga Sobrat). (Sobrat,
h.57).
·
Mandor Bokop, Mandor Burik dan Mandor
Birah adalah mandor yang mempekerjaakan para kuli di Bukit Kemilau. Namun
ketiga mandor ini mempunyai sifat yang kasar. Berikut ini merupakan dialog
kasar dari Mandor Burik;
Mandor Burik: Itu bukan kata anjing kuli
Kontrak. Mampus kau! (melecut). (Sobrat, h.21).
Sifat kasar dari Mandor
Birah;
Mandor Birah: Apa kamu bilang? Rasakan
pitinganku! (Mandor Birah memiting Salmah
dan digocoh Mandor Birah… Salmah tak berdaya). (Sobrat, h.34).
Sifat kasar Mandor
Bokop;
Mandor
Bokop: Sekarang hadapi aku! (Kepada para Mandor) Mundur! Dasar
singkong rebus, kalian! (Maju menyerang
Sobrat). (Sobrat, h.48).
·
Dongson adalah bandar judi koplok yang
sangat licik pada semua kuli kontrak di Bukit Kemilau.
Dongson:
Dulu juga kamu kuras setiap kantong
kuli. Lalu, mereka kamu pinjami. Kemudian, mereka yang kalah dikontrak lagi.
Mereka yang menang, kamu kuras lagi. Terus begitu dan begitu. (Sobrat, h.50).
1.3
Latar
cerita.
a. Latar
Tempat
Cerita ini berlatar di
daerah Jawa Barat dan Sumatra tepatnya di Kampung Lisung, Tapakdara (tempat
judi koplok milik Dongson);
Sebuah
tempat bernama Tapakdara. Di tempat judi Koplok milik Dongson yang ramai oleh
kaum lelaki dan pelayan wanita yang disebut Biti-biti. (Sobrat, h.2).
Latar di Kapal “De
Boulsit”;
Di
atas kapal “De Boulsit” pengangkut para kuli kontrak tambang emas. (Sobrat, h.13).
Kemudian latar tempat
yang lainnya yaitu Barak Kuli, di Alam Siluman, Markas para Mandor, di sungai
Ciberes Girang, di rumah Rasminah, di
Giri Tresnan dan sebuah pertambangan di Bukit Kemilau.
b. Latar
Waktu
Latar waktu pada drama Sobrat adalah pagi, siang, sore, dan
malam. Secara eksplisit cerita ini berlatar pada zaman kolonial Belanda, yaitu
sekitar tahun 1920an.
c. Latar
Suasana
·
Suasana Marah
Salah satu penggalan cerita yang menggambarkan suasana senang yaitu
ketika Sobrat membela Doyong yang
ditendangi oleh Mandor Burik karena
sakit perut.
Sobrat: Kita bertarung secara jantan,
Mandor!” (Sobrat, h.21).
·
Suasana Senang
Salah satu penggalan cerita yang menggambarkan suasana senang yaitu
ketika Sobrat telah mendapatkan keping-kepingan emas dari Silbi.
Sobrat: Wak,
ini bukan khayalan. Ini akan jadi kenyataan…!
Aku punya hadiah untuk kalian! (Mengeluarkan
biji emas sebesar biji salak dari kotak kayu) dengan ini Wak bisa habiskan
tong Bandar dan Wak bisa jadi pemiliknya!. (Sobrat,
h.42).
·
Suasana Sedih
Salah satu penggalan cerita yang menggambarkan suasana senang yaitu
ketika Sobrat telah kembali ke kampung Lisung untuk bertemu dengan ibunya,
namun ibunya telah meninggal dunia.
Sobrat: Mi, aku pulang Mi! aku sudah kaya, Mi! tapi
mimi sudah mati. (Menangis) pulang ke gusti Allah. Aku masih ingat kalau mau
tidur, aku disuruh berdoa. Aku masih ingat…
upet-upet obor jati…Ati tanghi badan turu…. Sukma madem nanging Allah…. La
illaha ilallahu Muhammadadrrasulullah. Aku ingat, Mi!. (Sobrat, h.55).
1.4
Plot
atau Alur.
1.
Tahap
Pengenalan.
Pada drama Sobrat
Pengenalan terletak pada bagian (babak) pertama, yaitu pada saat Sobrat
menceritakan bagaimana kehidupannya di Bukit Kemilau yang penuh dengan
kesengsaraan jauh dari harapannya yang telah dijanjikan oleh Inang Honar
“wanita pencari tenaga kerja”.
Sobrat: Beginilah hidup ku di Tapakdara
ini! Jauh dari kampung Lisung datang kebukit kemilau hanya untuk mengadu nasib
menjadi kuli kontrak penambang emas. Padahal aku sudah cukup bahagia bersama
mimi, ibu ku. Mimi yang sangat telaten, suka memasak sayur asem untukku, suka
membuatkan pepes ikan dan sambal pedas untukku. Semuanya itu kutinggalkan demi
emas. Kalu aku beruntung, upah yang kudapat, lalu habis di lantai judi dan
biti-biti.... (Sobrat, h.2).
2. Tahap
Pemunculan Konflik.
Konflik bermula saat Doyong, merasa tidak sanggup bekerja
karena sedang sakit. Dia pun mengistirahatkan diri agar rasa sakitnya sedikit
berkurang. Akan tetapi, dia malah mendapat perlakuan semena-mena dari atasannya,
Mandor Burik. Dengan seenak hatinya, Mandor Burik menendang perut Doyong
sehingga jatuh kesakitan. Melihat hal tersebut, Sobrat merasa geram. Dia pun
melakukan perlawanan. Pada akhirnya Sobrat menang melawan Mandor Burik. Berikut
ini dialog antara Sobrat dengan Mandor Burik (Sobrat, h.20);
Sobrat : Jangan, Mandor! Biarkan saja
dulu, Mandor. Apa Mandor tak pernah sakit perut!?
Mandor Burik: Apa kamu bilang!? (Melecut) jangan bilang begitu! di
kampungmu kamu bisa bilang apa saja, ttetapi di sini lain…. Ini tanah Bukit
Kemilau dan aku penjaganya! Kembali ke tempatmu, kuli!
Sobrat: Tidak mau!
Mandor Burik (Marah): Itu bukan kata anjing kuli Kontrak. Mampus kau! (melecut)
Sobrat mencoba melawan
Sobrat: Kita bertarung secara jantan,
Mandor!
Mandor Burik: Apa kamu bilang?
Sobrat: Kita bertarung secara jantan,
Mandor!
Mandor Burik: Boleh saja… apa maumu?
Sobrat: Beri aku cambuk!
Mandor Burik: Enak saja! rasakan! (Melecutkan cambuk)
Doyong (Berteriak): Sobrat sama Mandor berkelahi!
Mandor Burik dan
Sobrat berkelahi, kuli-kuli berkumpul, melingkar. Sambil menyanyikan semboyan
mereka. Awalnya, Mandor Burik Berjaya dengan cambuknya. Namun, cambuknya
berhasil direbut Sobrat, dengan satu kali ayunan dan pitingan, Mandor Burik tak
berkutik. Tiba-tiba terdengar suara tembakan
Sobrat (Pada mandor Burik): Kamu masih beruntung, Mandor! (Melepaskan pitingan)....
3. Tahap
Peningkatan Konflik.
Peningkatan konflik ini terjadi ketika Samolo dan
Doyong panik karena Sobrat jatuh ke dalam sumur. Namun Mandor Bokop dan Mandor
Burik tidak ada yang menolong Sobrat malah berbalik Mandor Bokop menembak
Doyong. Berikut dialognya (Sobrat,
h.35);
Doyong (meraung-raung): Dia pasti sudah mati! Dia sudah mati!
Mandor Bokop (Jengkel): Kamu bisa
diam tidak!?
Doyong: Bagaimana akan diam, kawan
sekampung jatuh ke dalam sumur! Dia pasti sudah mati!
Mandor Bokop: Bagaimana kalau dia dibawa
pergi?
Mandor Burik: Bagus! (Pada Doyong) ayo pergi dari sini!
Doyong: Gak mau! Dia mati!
Mandor Burik(memaksa): Ayo pergi! (pada
para kuli) ayo bubar! Kerja lagi!
Para kuli
menurut, kecuali Doyong dan Samolo yang tetap diam
Doyong: Mandor! Apa akan dibiarkan saja?
Mandor Bokop (Tambah jengkel): Apa yang harus aku lakukan, heh? Masuk ke dalam
sana!? (Mendorong) kamu saja yang
masuk!
Doyong: Enak saja Mandor bicara! (mengayun Blincong)
Terdengar
letusan, Doyong menjerit.
Mandor Burik: Kenapa ditembak, Mandor?
Mandor Bokop: Aku sebal dengan raungannya. Seperti kucing
sedang kawin!
Samolo menghampiri
tubuh Doyong yang terluka
Samolo: Kenapa harus ditembak, mandor?
Mandor Bokop: Harus! Dia harus
kubungkam! Laki-laki cerewet!....
4. Tahap
Klimaks.
Puncak peristiwa terjadi pada saat Sobrat melakukan
perjanjian dengan Silbi Gendruwi yaitu siluman pemilik Bukit Kemilau. Isi
perjanjian tersebut ialah Sobrat dapat kembali ke Bumi jika ia mau kawin dengan
Silbi Gendruwi, Sobrat mau melakukannya asal ia bisa kaya. Sobrat di beri
kekayaan, ia diberi oleh Silbi berupa kotak kayu yang bersi biji-biji emas
sebesar biji salak dan sebuah mahkota kepala babi hutan yang dapat
melindunginya dari apapun. Tetapi dalam perjanjian tersebut ada untung dan
ruginya. Untungnya sobrat dapat menjadi kaya raya sedangkan ruginya ialah umur
yang dimiliki sobrat akan berkurang. Berikut dialog antara Sobrat dengan Silbi
(Sobrat, h.39);
Sobrat (tak sabar): Kapan kamu kirim aku ke
bumiku?
Silbi:
Sabarlah. Sebelum kamu pergi, kamu harus tahu bahwa siapa pun yang kawin
denganku ada untung ruginya!
Sobrat:
Untungnya?
Silbi: Kekayaan
yang berlimpah!
Sobrat:
Ruginya?
Silbi: Umurmu!
Sobrat:
Umurku?
Silbi: Setiap
tarikan napas, umurmu berkurang. Ibarat sumur yang setiap hari dikuras airnya
dan lama-lama akan habis, begitupun kamu!
Sobrat (Kaget): Apa? Aku pendek umur?
Silbi: Tidak,
kamu punya umur. Tapi, umurmu telah kamu gadaikan padaku. Kamu cicil
pembayarannya setiap setarikan napasmu. Kamu akan nikmati kekayaan yang
melimpah, tapi kamu akan cepat kehilangan nyawa. Bagaimana? Kamu siap?....
5. Tahap
Pemecahan Masalah.
Pemecahan masalah terjadi ketika sobrat berhasil
keluar dari Bukit Kemilau namun harus menghadapi Mandor Birah, Mandor Bokop dan
Mandor Burik. Setelah ia berhasil memperdayai para mandor tersebut, ia pun
dapat membeli tempat judi dongson berkat kekayaan yang dimilikinya dan ia pun
berhasil membawa pergi Rasminah wanita pujaan hatinya yang sudah di jadikan
Nyai oleh Tuan Balar. Dan Sobrat akhirnya pulang ke kampung halamannya yaitu
Kampung Lisung bersama dengan sahabatnya Doyong dan Samolo, tentunya dengan
Rasminah. Berikut dialognya ketika Sobrat mengalahkan para Mandor (Sobrat, h. 49);
Sobrat: Terima kasih, mandor. Kami akan pergi dan
jangan pernah dicari. Kalau kalian cari, akibatnya tanggung sendiri! tapi
sebelum pergi, tolong katakan di mana Rasminah tinggal?
Para
Mandor saling pandang, mandor Bokop menengadah dan menggelengkan kepala tanda
tak tahu.
Sobrat: Kalau kalian benar-benar tak tahu, akan
kucari sendiri! tapi katakana tempatnya saja!
Mandor Bokop:
Mungkin di Bandar Blawan. Dia jadi nyai Tuan Bulsak, kawan tuan Balar!....
Dan berikut ini dialog
antara Sobrat dengan Rasminah, ketika Rasminah diajak pergi dari rumah Tuan
Balar (Sobrat, h. 53);
Sobrat: Bagus,
kamu panggil namaku, terima kasih Rasminah. Kalau kamu tak mau, akan kupaksa.
Biar kusimpan sekanjut kundang ini untuk kutukar denganmu! (Menarik tangan
Rasminah) ayo, kita pulang ke Caruban!
Rasminah: Pulang?
Sobrat: Jangan
kamu bilang lagi, bagaimana bisa? Aku jawab, bisa! Ayo cepat!
...Sobrat
membawa Rasminah pergi.
6. Tahap Penyelesaian.
Penyelesaian dalam
drama Sobrat ialah pada babak tujuh
belas dan delapan belas. Pada babak tujuh belas adegannya merupakan solilokui
sobrat tentang mimi. Munculnya kenangannya bersama mimi membuat ia merasakan
kesedihan yang teramat sangat, ia merasa berdosa karena sudah meninggalkan
miminya seorang diri di kampung. Ia juga merasa menyesal karena telah
mengabaikan larangan miminya, ia hanya mendengarkan bisikan dari mongkleng yang
telah menjerumuskannya. Berikut dialognya (Sobrat, h.57);
Sobrat (Sedih): Memang aku anak nakal, Mimi. Aku
anak nakal. Kenakalanku tak bisa dihitung dengan jari, juga kenekatanku. Aku
akui, sering aku mendengar lamat-lamat petuahmu yang bagus-bagus dan benar itu.
tiap petuah itu sering membuatku ragu karena itu kulupakan saja. meski
sebenarnya tak mungkin bisa karena itu aku pulang. Aku pulang ke kampong Lisung
ini membawa Rasminah. Tapi, Mimi sudah…. (Menangis)....
Kemudian pada babak
delapan belas menceritakan tentang perayaan pernikahan Rasminah dan Sobrat di
Caruban, kampung halaman Rasminah. Pada babak ini Silbi Gendruwi datang menagih
janji yang telah dilanggar oleh Sobrat. Silbi marah karena perjanjiannya yang
telah disepakati ternyata dilanggar oleh Sobrat. Dan akhirnya Kisahnya Sobrat
menjadi bisu dan tuli. Berikut dialognya (Sobrat,
h.58);
Sobrat
berjalan-jalan dengan Rasminah dalam pakaian pengantin ala daerah Caruban.
Mereka berpayung kertas berbunga-bunga, lamat-lamat music daerah terdengar,
tapi muncul pula Silbi dan Mongkleng berpayung hitam. Ketika berpapasan, Silbi memandang
Sobrat dan berkata
Silbi: Sobrat,
bukankah kamu suamiku? Tapi kamu menikahi nyai itu! lagipula mahkota itu tak
ada lagi pada kamu! Kamu tanggung sendiri akibatnya! (Meniup telinga Sobrat).
Tiba-tiba
di ranjang kelambu Sobrat berteriak-teriak. Ia terbangun dari mimpinya. Ia
duduk di pinggiran ranjang. Muncul Rasminah duduk di sampingnya, sambil
memegang kendi.
Rasminah: Ada apa kang?
Sobrat diam saja, tak bereaksi. Rasminah
heran.
Rasminah: Ada apa kang? Mimpi buruk ya?
Sobrat diam saja seperti tak mendengar.
Rasminah segera menggoyang-goyangkan tubuh suaminya.
Rasminah: Kenapa akang
diam saja? kenapa? (Teriak) ngomong
kang, ngomong!
Sobrat baru bereaksi. Dia ingin ngomong,
tapi hanya suara gagu yang terdengar. Rasminah menjerit
Rasminah: Kang! Kamu tuli? Kamu bisu?
Bagaimana mungkin?
Sobrat diam saja. hanya menangis. Dia
mengambil kendi dan mengguyurkannya ke wajahnya dengan air, mungkin menyesali
dirinya....
1.5
Amanat.
Amanat yang dapat di
ambil dalam drama Sobrat adalah sebuah
naskah yang mencerminkan kehidupan sosial dari zaman penjajahan kolonial
Belanda sampai saat ini. Bangsa Indonesia sendiri mencerminkan adanya fenomena
yang terjadi dalam drama Sobrat.
Masyarakat Indonesia belum dapat keluar dari perjudian, dan perbudakan.
Indonesia belum bisa menghentikan perjualbelian perempuan dan anak-anak. Bahkan
masih banyak orang-orang yang mengikat perjanjian dengan makhluk gaib untuk
mendapat kekayaan dan kekuasaan.
2.
Analisis
Ekstrinsik drama Sobrat:
2.1
Nilai
Sosial.
Dalam naskah drama Sobrat ditemukan beberapa hal yang erat
kaitannya dengan fenomena perburuhan di Indonesia. Drama Sobrat tersebut menggambarkan masyarakat buruh yang hidup di zaman
penjajahan Belanda, tetapi berbagai konflik seputar perburuhan yang ada di
dalamnya dapat mencerminkan kondisi masyarakat perburuhan saat ini. Melalui
teks drama tersebut pengarang bermaksud mengemukakan bahwa kehidupan kaum buruh
di zaman kemerdekaan ini sama terjajahnya dengan kehidupan kaum buruh di zaman
penjajahan Belanda.
2.2
Nilai
Religius.
Nilai religius yang dapat dipetik
dari drama Sobrat ialah kita tidak
boleh bersekutu dengan setan meski kita terbelenggu dalam pusaran kemiskinan.
Jauhi segala larangan tuhan yang dapat menjerumuskan kita ke jurang kemaksiatan.
Tidak boleh sombong kepada sesama manusia. Selalu patuhi kata-kata Ibu kita,
karena seorang Ibu tidak mungkin menjerumuskan anaknya. Seorang Ibu ingin
anaknya hidup bahagia dunia akhirat.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Drama
sebagai pertunjukan lakon mutlak karena drama merupakan satu-satunya seni yang
paling kompleks dan drama merupakan satu-satunya seni yang paling objektif dari
pada seni yang lainnya. Drama merupakan pembeberan peristiwa untuk dinikmati
secara artistik imajinatif oleh para pembacanya dan diteruskan untuk
dipertontonkan dalam suatu penampilan gerak dan berprilaku konkret yang dapat
ditonton.
Arthur
Supardan Nalan Lahir di Majalengka, Jawa Barat, 21 Februari, 1959.
Seorang penulis naskah drama yang pernah di pentaskan oleh berbagai grup
teater. Sobrat adalah salah satu
naskah drama karyanya tahun 2003 lalu yang dinobatkan sebagai pemenang
sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta. Bahkan tokoh teater
yaitu WS. Rendra bersama Bengkel teaternya pernah mementaskan Sobrat, di Taman Ismail Marzuki tahun
2005 lalu.
Menganalisis sastra atau
mengkritik sastra adalah usaha menangkap makna dan memberi makna pada teks
karya sastra tersebut. Dengan demikian naskah drama Sobrat ini dianalisis dengan menggunakan
pendekan objektif yaitu pendekatan yang kembali kepada teks dengan struktur
yang kompleks.
Drama
Sobrat ini menceritakan jaman
penjajahan kolonial Belanda sampai saat ini dengan berbagai fenomena, seperti
perjudian, perbudakan, perjualbelian perempuan dan anak-anak, serta orang yang
mengikat perjanjian dengan makhluk gaib untuk mendapatkan kekayaan dan
kekuasaan.
ini yang mau NASKAH DRAMA SOBRAT
[1] Meliani Budianta, dkk, Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia
Tera, 2003), hlm.100.
[2] Ibid, hlm.95.
[3] Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT
Grasindo, 2008), hlm.163.
[4] Hasanuddin Ws, Drama Karya dalam Dua Dimensi, (Bandung:
Angkasa, 1996), hlm.1.
[5] Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode kritik, dan
Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008). Hal. 141.
[6] Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT
Grasindo, 2008), hlm.183.