Jumat, 02 November 2012

Review Asmaradana


REVIEW:
Kajian “Asmaradana” Dalam Sastra Bandingan
Oleh: Puji Santosa


            Puji Santosa menulis latar belakang dengan pengantar. Dalam kata pengantarnya ia membicarakan tentang kesustraannya terlebih dahulu. Mastera (majelis Sastra Asia Tenggara) sudah mengadakan kuliah kesusastraan bandingan sebnyak tiga kali dalam tiga negara yaitu Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia. Kajian sastra bandingan yang akan dibicarakan adalah asmaradana, yaitu mantra puisi Jawa klasik dan pengaruhnya terhadap karya sastra Indonesia. Santosa membandingkan asmaradana antara tiga sastrawan yaitu Danarto, Goenawan Mohamad dan Subagio Sastrowardojo.
            Kemudian Santosa menulis kerangka teori diawali dengan membahas sejarah studi sastra dari Prancis pada abad ke-19 hingga masuk kedalam Romawi dan Eropa. Namun pada perkembangan selanjutnya studi sastra tidak hanya terbatas pada kajian sejarahnya tetapi meliputi teori dan kritik sastra. Sastra bandingan tidak terbatas pada sastra antar bangsa melainkan sesama bangsa sendiri juga bisa melalukan perbandingan sastra.
            Santosa menjelaskan terdapat dua tahap untuk mengkaji Asmaradana. Tahap pertama yaitu mengkaji sejarah asmaradana secara mendalam. Tahap kedua yaitu mencari teks yang merujuk pada asmaradana dalam karya sastra Indonesia. Dengan demikian terdapat dua teks sebagai bahan kajian sastra bandingan. Setiap teks karya sastra tidak ada yang mandiri atau otonom karena terdapat latar belakang yang sama dengan teks sastra yang lain. Namun tidak berarti setiap karya sastra yang baru itu hanya sekedar mencontoh karya sastra yang sebelumnya, penyimpangan dari hasil transformasi memegang peranan yang penting untuk melahirkan teks karya sastra baru.
Lalu Santosa menjelaskan asal usul asmaradana dalam teks sastra Jawa klasik. Bedasarkan mitologi Jawa, asmara merupakan nama dewa percintaan, Asmaradana diambil dari peristiwa terbakarnya Dewa Asmara. Asmaradana sebagai matra puisi Jawa klasik yang dapet digolongkan kedalam berbagai ragam sekar mencapat asli. Perwujudan jati diri mantra asmaradana terdapat pada nyanyian cinta kasih dan sifat romantisisme.
Dalam tembang asmaradana terdapat pola persajakan lambang yang terdiri dari, guru gatra terdapat tujuh larik dalam satu bait, guru wilangan terdapat 8888788 jumlah suku kata dalam tiap larik kemudian guru lagu bunyi akhir vokal tiap lirik yaitu i,a,e/o,a,a,u,a. Pola asmaradana ini tidak akan berubah sepanjang masa. Santosa memberikan teknik dalam memilih bunyi vokal akhir yaitu mengunakan ragam bahasa krama, mengubah bunyi vokal tanpa mengubah maknanya, memilih kata yang sepadan, dan pembalikan susunan kata. Dalam pengunaan ragam bahasa dapat saja suatu kata itu berubah namun tetap saja makna yang terkandung didalamnya sama dengan aslinya.
Santosa menyebutkan beberapa sastrawan yang menggunakan judul asmaradana dalam teks sastra Indonesia modern yaitu asmaradana berbentuk cerita pendek milik Danarto yang selesai ditulis tahun 1971 dan dua berbentuk puisi atau sajak milik Goenawan Mohamad pada tahun 1971 dan Subagio Sastrowardojo selesai antara tahun 1971-1974.  Maka Santosa memakai studi sastra bandingan secara sinkronis (satu zaman) karena adanya persamaan tahun antara ketiga sastrawan tersebut.
Santosa mengingatkan bahwa studi sastra hendaknya memperhatikan empat asas yaitu, genetik teks, generik teks, tematik teks, dan kesejajaran teks. Kemudian Santosa menjelaskan bahwa asmaradana milik Danarto tidak dapat dibandingkan dengan asmaradana teks Jawa klasik karena asmaradana karya Danarto tidakmengacu pada teks mitologi Jawa melainkan lebih mengacu pada mitologi Yunani klasik, hal ini terbukti dengan adanya pengunaan nama tokoh-tokohnya. Kesamaan pada asmaradana milik Danarto hanya pada judul teks, tematik teks dan suasana teks yang mengungkapkan kerinduan. Menurut Santosa, asmaradana yang memiliki kesejajaran dibandingkan adalah asmaradana karya Goenawan Mohamad dan Subagio Sastrowardojo karena kedua karya tersebut memiliki semua empat asas studi sastra bandingan.
Kemudian Santosa mulai menganalisis asmaradana milik Goenawan Mohamad dengan mengunakan pendekatan objektif.. Pertama kali yang ia bahas adalah asmaradana yang menjadi buku kumpulan sajak asmaradana oleh Goenawan Mohamad dilanjutkan dengan menceritakan asmaradana milik Goenawan Mohamad. Asmaradana milik Goenawan Mohamad lebih mengacu pada kisah Anjasmara dan Damar Wulan namun dari segi isi tidak banyak yang berubah dari asmaradana milik Goenawan Mohamad dengan asmaradana puisi mantra Jawa klasik namun perbedaannya terletak pada gaya pengucapan dan modifikasi bentuk.
Asmaradana milik Subagio Sastrowardojo dimuat dua kali dalam kumpulan sajak namun asmaradana milik Subagio Sastrowardojo lebih mengacu pada kisah Rama dan Sita. Santosa mempertanyakan apa yang menarik dari asmaradana milik Subagio Sastrowardojo, asmaradana ini dianggap sebagai sajak reformasi serta berbagai mitos yang eksterm. Kemudian Santosa membandingkan asmaradana milik Subagio Sastrowardojo dengan asmaradana Goenawan Muhamad dari sudut pandang hingga visi reformasi yang dibawa kedua sastrawan tersebut dalam karya asmaradana sangat berbeda. Goenawan Muhamad lebih cenderung untuk mengkukuhkan keberadaan mitos yang telah ada namun sebaliknya Subagio Sastrowardojo cenderung sebagai kontra mitos yang terdapat pada cerita perwayangan.
Santosa menutup analisisnya dengan menceritakan kembali asmaradana sebagai karya sastra Jawa klasik. Kemudian menyebutkan ketiga sastrawan yang memakai judul asmaradana dalam karyanya, namun ketiga  sastrawan tersebut tidak sekedar menyalin, meniru dan menerjemahkan tetapi mereka juga mengubahnya dengan daya kreativitas dan mengunakan teknik pengisahan yang cemerlang. Menurut Santosa wujud penyimpangan dan perubahan yang ada, merupakan suatu transformasi untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan zaman.

2 komentar: