REVIEW:
Kajian
“Asmaradana” Dalam Sastra Bandingan
Oleh:
Puji Santosa
Puji Santosa menulis latar belakang
dengan pengantar. Dalam kata pengantarnya ia membicarakan tentang kesustraannya
terlebih dahulu. Mastera (majelis Sastra Asia Tenggara) sudah mengadakan kuliah
kesusastraan bandingan sebnyak tiga kali dalam tiga negara yaitu Malaysia,
Brunei Darussalam dan Indonesia. Kajian sastra bandingan yang akan dibicarakan adalah
asmaradana, yaitu mantra puisi Jawa klasik dan pengaruhnya terhadap karya
sastra Indonesia. Santosa membandingkan asmaradana antara tiga sastrawan yaitu
Danarto, Goenawan Mohamad dan Subagio Sastrowardojo.
Kemudian Santosa menulis kerangka
teori diawali dengan membahas sejarah studi sastra dari Prancis pada abad ke-19
hingga masuk kedalam Romawi dan Eropa. Namun pada perkembangan selanjutnya
studi sastra tidak hanya terbatas pada kajian sejarahnya tetapi meliputi teori
dan kritik sastra. Sastra bandingan tidak terbatas pada sastra antar bangsa
melainkan sesama bangsa sendiri juga bisa melalukan perbandingan sastra.
Santosa menjelaskan terdapat dua
tahap untuk mengkaji Asmaradana. Tahap pertama yaitu mengkaji sejarah asmaradana
secara mendalam. Tahap kedua yaitu mencari teks yang merujuk pada asmaradana
dalam karya sastra Indonesia. Dengan demikian terdapat dua teks sebagai bahan
kajian sastra bandingan. Setiap teks karya sastra tidak ada yang mandiri atau
otonom karena terdapat latar belakang yang sama dengan teks sastra yang lain.
Namun tidak berarti setiap karya sastra yang baru itu hanya sekedar mencontoh
karya sastra yang sebelumnya, penyimpangan dari hasil transformasi memegang
peranan yang penting untuk melahirkan teks karya sastra baru.
Lalu
Santosa menjelaskan asal usul asmaradana dalam teks sastra Jawa klasik.
Bedasarkan mitologi Jawa, asmara merupakan nama dewa percintaan, Asmaradana
diambil dari peristiwa terbakarnya Dewa Asmara. Asmaradana sebagai matra puisi
Jawa klasik yang dapet digolongkan kedalam berbagai ragam sekar mencapat asli. Perwujudan
jati diri mantra asmaradana terdapat pada nyanyian cinta kasih dan sifat
romantisisme.
Dalam
tembang asmaradana terdapat pola persajakan lambang yang terdiri dari, guru
gatra terdapat tujuh larik dalam satu bait, guru wilangan terdapat 8888788
jumlah suku kata dalam tiap larik kemudian guru lagu bunyi akhir vokal tiap
lirik yaitu i,a,e/o,a,a,u,a. Pola asmaradana ini tidak akan berubah sepanjang
masa. Santosa memberikan teknik dalam memilih bunyi vokal akhir yaitu
mengunakan ragam bahasa krama, mengubah bunyi vokal tanpa mengubah maknanya,
memilih kata yang sepadan, dan pembalikan susunan kata. Dalam pengunaan ragam
bahasa dapat saja suatu kata itu berubah namun tetap saja makna yang terkandung
didalamnya sama dengan aslinya.
Santosa
menyebutkan beberapa sastrawan yang menggunakan judul asmaradana dalam teks
sastra Indonesia modern yaitu asmaradana berbentuk cerita pendek milik Danarto yang
selesai ditulis tahun 1971 dan dua berbentuk puisi atau sajak milik Goenawan
Mohamad pada tahun 1971 dan Subagio Sastrowardojo selesai antara tahun
1971-1974. Maka Santosa memakai studi
sastra bandingan secara sinkronis (satu zaman) karena adanya persamaan tahun
antara ketiga sastrawan tersebut.
Santosa
mengingatkan bahwa studi sastra hendaknya memperhatikan empat asas yaitu,
genetik teks, generik teks, tematik teks, dan kesejajaran teks. Kemudian
Santosa menjelaskan bahwa asmaradana milik Danarto tidak dapat dibandingkan
dengan asmaradana teks Jawa klasik karena asmaradana karya Danarto tidakmengacu
pada teks mitologi Jawa melainkan lebih mengacu pada mitologi Yunani klasik,
hal ini terbukti dengan adanya pengunaan nama tokoh-tokohnya. Kesamaan pada
asmaradana milik Danarto hanya pada judul teks, tematik teks dan suasana teks
yang mengungkapkan kerinduan. Menurut Santosa, asmaradana yang memiliki
kesejajaran dibandingkan adalah asmaradana karya Goenawan Mohamad dan Subagio
Sastrowardojo karena kedua karya tersebut memiliki semua empat asas studi
sastra bandingan.
Kemudian
Santosa mulai menganalisis asmaradana milik Goenawan Mohamad dengan mengunakan
pendekatan objektif.. Pertama kali yang ia bahas adalah asmaradana yang menjadi
buku kumpulan sajak asmaradana oleh Goenawan Mohamad dilanjutkan dengan
menceritakan asmaradana milik Goenawan Mohamad. Asmaradana milik Goenawan
Mohamad lebih mengacu pada kisah Anjasmara dan Damar Wulan namun dari segi isi tidak
banyak yang berubah dari asmaradana milik Goenawan Mohamad dengan asmaradana
puisi mantra Jawa klasik namun perbedaannya terletak pada gaya pengucapan dan
modifikasi bentuk.
Asmaradana
milik Subagio Sastrowardojo dimuat dua kali dalam kumpulan sajak namun
asmaradana milik Subagio Sastrowardojo lebih mengacu pada kisah Rama dan Sita.
Santosa mempertanyakan apa yang menarik dari asmaradana milik Subagio
Sastrowardojo, asmaradana ini dianggap sebagai sajak reformasi serta berbagai
mitos yang eksterm. Kemudian Santosa membandingkan asmaradana milik Subagio
Sastrowardojo dengan asmaradana Goenawan Muhamad dari sudut pandang hingga visi
reformasi yang dibawa kedua sastrawan tersebut dalam karya asmaradana sangat
berbeda. Goenawan Muhamad lebih cenderung untuk mengkukuhkan keberadaan mitos
yang telah ada namun sebaliknya Subagio Sastrowardojo cenderung sebagai kontra
mitos yang terdapat pada cerita perwayangan.
Santosa
menutup analisisnya dengan menceritakan kembali asmaradana sebagai karya sastra
Jawa klasik. Kemudian menyebutkan ketiga sastrawan yang memakai judul
asmaradana dalam karyanya, namun ketiga
sastrawan tersebut tidak sekedar menyalin, meniru dan menerjemahkan
tetapi mereka juga mengubahnya dengan daya kreativitas dan mengunakan teknik
pengisahan yang cemerlang. Menurut Santosa wujud penyimpangan dan perubahan
yang ada, merupakan suatu transformasi untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan
dan zaman.
dinamis, thank you.
BalasHapus:D
@Trian Lesmana: you're welcome :D semoga bisa membantu :))
BalasHapus