Sinopsis Drama Kereta
Kencana (Les Chaises)
Karya Eugene Lonesco
(terjemahan W.S. Rendra)
Drama yang di terjemahkan oleh WS
Rendra ini tergolong absurd, mulai dari penerapan konsep yang realis dituntut
langsung dalam pementasannya. Drama ini menceritakan tentang dua orang tua
telah berusia dua abad menunggu sebuah kereta kencana. Kereta kencana dengan
sepuluh ekor kuda, satu warna. Lama ditunggu, kereta itu tal juga tiba.
Sementara suara- suara yang
mengatakan mereka akan segera dijemput terus saja berkumandang. Membuat mereka
merasa semakin dekat dengan kematian. Dua orang yang kesepian ini tidak
mempunyai anak, dua orang yang memiliki kejayaan masa lalu namun dimasa tuanya
hanya bisa berkhayal agar kematian yang segera menjemput mereka berdua dapat
menjadi suatu yang bermakna, namun tetap saja absurd.
Drama ini menjadi sangat menarik
dikarenakan penulisan yang mengambil latar belakang keadaan masa tua yang tidak kunjung habis. Selalu dilalui dengan
monotone namun terlihat dimana penulis menyampaikan isi yang sesungguhnya
tetang kehidupan yang menjadi lebih terkesan membosankan. Dua orang tua ini
tidak terlihat mengeluh dalam menunggu kereta yang tak kunjung menjemputnya.
Hari – hari dilalui dengan duduk disebuah kursi goyang. Si Nenek bercanda mesra
dengan Kakek. Tak jarang mereka membahas kembali masa lalu yang terlewat sudah.
Kakek selalu bercumbu rayu, terkadang merayu sedikit, dan selalau diakhiri
dengan kebosanan. Bilamana sudah bosan, mereka kembali bernostalgia, sesekali
melihat kejendela, apakah sudah datang kereta yang mereka tunggu. Dua orang tua
itu tak beda halnya seperti bermain main. Mereka saling membangun pendirian,
menghibur masing-masing, bercanda tertawa, bersenda guarau, sampai pertengkaran
tak jarang menghiasi kesepian mereka.
` Setelah berlalu, mereka hanyalah
terdiam terpaku menunggu. Kebosanan semakin menjadi, mereka kembali berfikir
tentang kehidupan kedepannya. Melihat jendela kembali, dan tak datang pula.
Percakapan yang hanya melibatkan dua orang ini sangat tidak membosankan,
diakarenakan bahasa dari drama ini sangatlah indah dan berbagi kiasan bahasa
yang bervariasi.
Puncak dari drama ini, tak kala
mereka benar – benar jenuh. Lalu saling mencerca satu sama lain. Pertengkaran
semakin menjadi. Ditengah suasana malam yang mencekam. Mereka saling
menyalahkan dan beradu argument, selalu terkekang dalam ruangan dan jendela
merepat mempercepat ataukah memperlambat waktu kematian mereka. Sungguh
kesepian dan kebosannan yang selalu mengiasi drama ini.
Pertengkaran berakhir ketika Kakek
mendapat serang jantung, lalu sekejap tergelatak di kursi goyangnya yang telah
tua seperti umurnya. Sontak Nenek sangat terpukul, lalu melakukan berbagai cara
agar Kakek dapat tersadar kembali. Nenek pun berdiaolog snediri, meminang dan
bernostalgia kisah cintanya dengan Kakek. Sesekali Nenek melihat jendela,
kereta kencana belum juga tiba.
Ditengah dialog Nenek, tiba – tiba
Kakek tersdar, dan kembali bercengkarama dengan Nenek, Kakek merayu mesra
Nenek, persis ketika Kakek melamar Nenek. Mereka kembali bercanda, bermimpi,
bernostalgia. Tak jarang Kakek menuturkan mimpinya ketika kedarannya tak
terkendali. Dia membayangkan sebuah kereta kenca menghampiri kediaman mereka
yang sederhana, hayalah kursi tua pemanis ruangan tersebut, perabotan rumah
yang lain sudah using, dan tak dapat dipergunakan lagi.
Bergitulah keseharian hidup meraka
yang sudah tua tanpa dibuahi seorang anak. Kesepian tiada tara menlanda
kehidupannya. Selalu kejadian tersebut diulang-ulang. Sampai pada akhrinya,
kerata yang mereka tunggu hanyalah sebuah ilusi yang tak pasti. Ilusi yang
hanya ada dalam imajinasi orang tua yang menunggu ajal. Ajal layaknya kereta
kencana yang emnjemput mereka menuju alam-Nya. Suasan haru, selalu menjadi
berbincangan dan mewarnai suasana drama ini.
Hikmah yang terkadung didalamnya
sungguhlah mendasar, mulai dengan sang Nenek yang setia kepada Kakek.
Begitupula Kakek selalu menghibur Nenek, dengan rayuannya. Semua berjalan
sesuai kehendak mereka dan terjadi begitu saja dengan kesetiaan, cinta kasih
sepasang manusia yang sama – sama menatap ajal. Namun kereta yang ditunggu tak
kunjung tiba, mereka kembali bercakap, sampai sang waktu merapuhkan jalan
mereka menuju yang Esa..
0 komentar:
Posting Komentar