Senin, 12 November 2012

Analisis Layar Terkembang


Perbedaan Sifat dalam Psikologi Sastra

Roman Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana adalah novel roman lama yang menjadi saksi sejarah dan perkembangan Bahasa Indonesia, sekaligus jejak pemikiran modern Indonesia. Roman ini mengangkat kisah kehidupan dua orang gadis yang penuh lika-liku menjalani hidup dan banyak memperkenalkan masalah hak-hak wanita dan yang menjadi sisi perjuangannya seperti berwawasan luas dan mandiri. Didalamnya juga banyak memperkenalkan masalah-masalah baru tentang benturan kebudayaan antara barat dan timur serta masalah agama.
Diawali dengan pertemuan tiga tokoh utama yaitu Yusuf, Maria, dan Tuti (kakak Maria). Yusuf seseorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir, karena wataknya yang baik hati, mudah bergaul dan berbudi luhur, Maria pun sampai jatuh hati padanya. Maria berumur 20 tahun seorang mahasiswi H.B.S. Carpentier Alting Stichting periang, senang akan pakaian bagus, memandang kehidupan dengan penuh kebahagian dan selalu bertindak sesuai perasaannya sehinnga ia mudah tersinggung. Tuti adalah seorang guru pada usianya yang ke-25 tahun, ia juga seorang gadis pintar, tegas, aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan wanita. Kemajuan wanita disini berarti jangan menggantungkan hidup pada lelaki dan hanya sebagai alat.
Layar Terkembang bertutur secara linier, hanya lurus kedepan tidak memikirkan masa lalu karena Sutan Takdir Alisjahbana menjabarkan cerita ini mulai dari pertemuan antara Tuti dan Maria dengan Yusuf diluar gedung akuarium kemudian konflik yang muncul saat Tuti dan Yusuf mulai merasakan sesuatu yang sama anatara prinsip dikeduanya, saat mereka sering menjenguk Maria sewaktu sakit. Lalu klimaks yang terdapat pada roman ini ketika Maria meminta Yusuf dan Tuti untuk memenuhi permintaan terakhir Maria yaitu untuk saling berkasih-kasih dan hidup rukun dalam ikatan perkawinan. Roman ini memakai sudut pandang orang ketiga karena pengarang hanya sebagai pratinjau atau orang yang menceritakan.

Dalam Layar Terkembang terdapat berbagai masalah yang dimunculkan diantaranya, Tuti sebagai seorang aktifis yang ingin meninggikan derajat wanita, perbedaan dua sifat diantara Tuti dan Maria, cinta tak harus memiliki, wanita modern dengan wanita tradisional dan banyak lainya. Namun yang saya akan angkat permasalahannya adalah tentang perbedaan dua sifat anatara Tuti dengan Maria. Permasalahan ini saya angkat dengan menggunakan  pendekatan psikologi sastra.
Psikologi sastra merupakan interdisiplin ilmu, menurut Wallek & Warren (1989:90) psikologi mempunyai empat pengertian yaitu studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, proses kreatif, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan studi dampak sastra terhadap pembacanya. Namun menurut Ratna (2004:350), Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Jadi, psikologi sastra merupakan analisis yang terdapat pada karya sastra dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut, didalamnya terdapat tokoh-tokoh yang mempunyai karakteristik yang khas.
“Lekas benar kita sampai sini” kata Maria agak kecewa, “Lihatlah belum seorang juga lagi” (Takdir, 2010: 3).
Dialog tersebut merupakan kecewaan yang dirasakan Maria saat di gedung akuarium belum banyak orang yang berkunjung. Namun tak lama suara Maria begitu gembira saat menunjukan ikan yang sangat indah. Pada dialognya:
“Aduh, indah benar.” Dan saraya melompat-lompat kecil. (Takdir, 2010: 3).
            Namun berbeda dengan kakaknya, Tuti yang tidak perduli perkataan Maria dan suara yang dikeluarkan Tuti begitu beratnya.
“Ya, bagus” (Takdir, 2010: 3).
Perbedaan suara yang dilontarkan Tuti dan Maria mengambarkan perbedaan budi perkerti yang mereka miliki masing-masing. Tuti yang sangat gemar membaca buku, pada setiap narasinya Tuti selalu memegang buku sebab itu Tuti menjadi berwawasan luas dan aktif dalam organisasi yang membela hak-hak wanita seperi pada dialog,
“Saudara-saudaraku, kaum perempuan, rapat yang terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru sebagian besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang...”. (Takdir, 2010: 40).
Sedangkan Maria tidak mengikuti jejak kakaknya sebagai aktifis didalam organisasi, dia termasuk anak yang banyak bicara, periang, bertindak sesuai perasaanya namun ia mudah disinggung. Pada dialognya,
“Engkau selalu mengganggu saya. Engkau tidak tahu bagaimana perasaan saya,” ujar Maria tersedu-sedu. (Takdir, 2010: 84).
            Tuti mengalami perjuangan batin pada saat dia harus memilih antara menerima Supomo untuk menjadi suaminya atau menolaknya. Terdapat pada narasi,
O, sejak perjuangan batinnya beberapa bulan ini, telah berapa kalinya tempat tidurnya melihat ia putus asa demikian...? (Takdir, 2010: 143).
Ketegasan Tuti saat menolak cinta Supomo seorang pemuda yang baik dan benar-benar mencintainya dengan tulus, seperti pada surat Tuti,
Sedih saya memikirkan saya mesti menolak cinta yang semulia dan sesuci cintamu. (Takdir, 2010: 148).
Tuti menolak Supomo karena dia merasa tidak cocok dengan Supomo yang tidak mempunyai suatu kecakapan yang dapat Tuti puji.
Rasa kasihan Tuti terhadap adiknya yang tinggal kesepian di rumah sakit dan jauh dari keluarga serta teman-temannya hingga Tuti membuang jauh egonya demi Maria, seperti,
Kasihan kepada Maria! Alangkah ingin hatinya hendak bersua dengan adiknya yang hanya seorang itu. Ia tidak menyesal meninggalkan kongres, meskipun masih sebanyak itu soal yang penting-penting akan dicakapkannya. (Takdir, 2010: 163).
Perjuangan batin Maria melawan penyakitnya pun harus selesai dengan mengikhlaskan Yusuf agar menikah dengan Tuti sepeti pada dialognya,
“Alangkah berbahagia saya rasanya diakhirat nanti, kalau saya tahu bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasih seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini...” (Takdir, 2010: 192).
            Kesedihan dan kekawatiran Yusuf dan Tuti akhirnya terjadi juga. Maria meninggal dunia di usia 22 tahun. Pada kutipan,
Maria…Januari 193…usia 22 tahun. Maka selaku terpekurlah berdiri kedua-duanya memandang ke makam itu, tiada menggerak-gerakkan dirinya. (Takdir, 2010: 196).
Dengan beberapa dialog-dialog yang disajikan, dapat tercermin sifat Tuti dan Maria yang sangat berbeda, serta banyak mengangkat unsur psikologis tokoh-tokohnya atau konflik batin pada setiap tokohnya.

0 komentar:

Posting Komentar