Perbedaan Sifat dalam Psikologi Sastra
Roman Layar
Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana adalah novel roman lama yang menjadi
saksi sejarah dan perkembangan Bahasa
Indonesia, sekaligus jejak pemikiran modern Indonesia. Roman
ini mengangkat kisah kehidupan dua orang gadis yang penuh lika-liku menjalani
hidup dan banyak memperkenalkan masalah hak-hak wanita dan yang menjadi sisi
perjuangannya seperti berwawasan luas dan mandiri. Didalamnya juga banyak
memperkenalkan masalah-masalah baru tentang benturan kebudayaan antara barat
dan timur serta masalah agama.
Diawali dengan pertemuan tiga tokoh utama
yaitu Yusuf, Maria, dan Tuti (kakak Maria). Yusuf seseorang mahasiswa
kedokteran tingkat akhir, karena wataknya yang baik hati,
mudah bergaul dan berbudi luhur, Maria pun sampai jatuh hati padanya. Maria berumur 20 tahun seorang mahasiswi H.B.S.
Carpentier Alting Stichting periang, senang akan pakaian bagus,
memandang kehidupan dengan penuh kebahagian dan selalu bertindak
sesuai perasaannya sehinnga ia mudah tersinggung. Tuti adalah seorang
guru pada
usianya yang ke-25 tahun, ia juga seorang gadis pintar,
tegas, aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan wanita. Kemajuan
wanita disini berarti jangan menggantungkan hidup pada lelaki dan hanya sebagai
alat.
Layar Terkembang bertutur secara linier, hanya lurus
kedepan tidak memikirkan masa lalu karena Sutan Takdir Alisjahbana menjabarkan
cerita ini mulai dari pertemuan antara Tuti dan Maria dengan Yusuf diluar
gedung akuarium kemudian konflik yang muncul saat Tuti dan Yusuf mulai
merasakan sesuatu yang sama anatara prinsip dikeduanya, saat mereka sering
menjenguk Maria sewaktu sakit. Lalu klimaks yang terdapat pada roman ini ketika
Maria meminta Yusuf dan Tuti untuk memenuhi permintaan terakhir Maria yaitu
untuk saling berkasih-kasih dan hidup rukun dalam ikatan perkawinan. Roman
ini memakai sudut pandang orang ketiga karena pengarang hanya sebagai pratinjau
atau orang yang menceritakan.
Dalam Layar Terkembang terdapat berbagai
masalah yang dimunculkan diantaranya, Tuti sebagai seorang aktifis yang ingin
meninggikan derajat wanita, perbedaan dua sifat diantara Tuti dan Maria, cinta
tak harus memiliki, wanita modern dengan wanita tradisional dan banyak lainya.
Namun yang saya akan angkat permasalahannya adalah tentang perbedaan dua sifat
anatara Tuti dengan Maria. Permasalahan ini saya angkat dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra.
Psikologi sastra merupakan interdisiplin
ilmu, menurut Wallek & Warren (1989:90) psikologi mempunyai empat
pengertian yaitu studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi,
proses kreatif, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya
sastra, dan studi dampak sastra terhadap pembacanya. Namun menurut Ratna
(2004:350), Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan
relevansi dan peranan studi psikologis. Jadi, psikologi sastra merupakan
analisis yang terdapat pada karya sastra dari sudut kejiwaan karya sastra
tersebut, didalamnya terdapat tokoh-tokoh yang mempunyai karakteristik yang
khas.
“Lekas benar
kita sampai sini” kata Maria agak kecewa, “Lihatlah belum seorang juga lagi”
(Takdir, 2010: 3).
Dialog
tersebut merupakan kecewaan yang dirasakan Maria saat di gedung akuarium belum banyak
orang yang berkunjung. Namun tak lama suara Maria begitu gembira saat
menunjukan ikan yang sangat indah. Pada dialognya:
“Aduh, indah
benar.” Dan saraya melompat-lompat kecil. (Takdir, 2010: 3).
Namun berbeda dengan kakaknya, Tuti
yang tidak perduli perkataan Maria dan suara yang dikeluarkan Tuti begitu
beratnya.
“Ya, bagus”
(Takdir, 2010: 3).
Perbedaan
suara yang dilontarkan Tuti dan Maria mengambarkan perbedaan budi perkerti yang
mereka miliki masing-masing. Tuti yang sangat gemar membaca buku, pada setiap
narasinya Tuti selalu memegang buku sebab itu Tuti menjadi berwawasan luas dan
aktif dalam organisasi yang membela hak-hak wanita seperi pada dialog,
“Saudara-saudaraku,
kaum perempuan, rapat yang terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru
sebagian besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya
kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang...”. (Takdir, 2010: 40).
Sedangkan
Maria tidak mengikuti jejak kakaknya sebagai aktifis didalam organisasi, dia
termasuk anak yang banyak bicara, periang, bertindak sesuai perasaanya namun ia
mudah disinggung. Pada dialognya,
“Engkau selalu
mengganggu saya. Engkau tidak tahu bagaimana perasaan saya,” ujar Maria
tersedu-sedu. (Takdir, 2010: 84).
Tuti
mengalami perjuangan batin pada saat dia harus memilih antara menerima Supomo
untuk menjadi suaminya atau menolaknya. Terdapat pada narasi,
O, sejak
perjuangan batinnya beberapa bulan ini, telah berapa kalinya tempat tidurnya
melihat ia putus asa demikian...? (Takdir, 2010: 143).
Ketegasan Tuti saat menolak
cinta Supomo seorang pemuda yang baik dan benar-benar mencintainya dengan
tulus, seperti pada surat Tuti,
Sedih saya memikirkan saya mesti
menolak cinta yang semulia dan sesuci cintamu. (Takdir, 2010: 148).
Tuti menolak Supomo karena dia
merasa tidak cocok dengan Supomo yang tidak mempunyai suatu kecakapan yang
dapat Tuti puji.
Rasa kasihan
Tuti terhadap adiknya yang tinggal kesepian di rumah sakit dan jauh dari
keluarga serta teman-temannya hingga Tuti membuang jauh egonya demi Maria,
seperti,
Kasihan kepada Maria! Alangkah ingin hatinya hendak
bersua dengan adiknya yang hanya seorang itu. Ia tidak menyesal meninggalkan
kongres, meskipun masih sebanyak itu soal yang penting-penting akan
dicakapkannya. (Takdir, 2010: 163).
Perjuangan batin Maria melawan penyakitnya pun harus selesai
dengan mengikhlaskan Yusuf agar menikah dengan Tuti sepeti pada dialognya,
“Alangkah berbahagia saya rasanya diakhirat nanti,
kalau saya tahu bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasih seperti
kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini...” (Takdir, 2010: 192).
Kesedihan dan kekawatiran Yusuf dan Tuti akhirnya terjadi
juga. Maria meninggal dunia di usia 22 tahun. Pada kutipan,
Maria…Januari 193…usia 22 tahun. Maka selaku
terpekurlah berdiri kedua-duanya memandang ke makam itu, tiada
menggerak-gerakkan dirinya. (Takdir, 2010: 196).
Dengan beberapa dialog-dialog yang disajikan, dapat tercermin sifat Tuti
dan Maria yang sangat berbeda, serta banyak mengangkat unsur psikologis
tokoh-tokohnya atau konflik batin pada setiap tokohnya.
0 komentar:
Posting Komentar