Selasa, 27 Mei 2014

Pemaknaan Warna dalam Student Hidjo


Novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo merupakan novel yang pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Surat Kabar Harian Sinar Hindia pada tahun 1918 dan diterbitkan sebagai novel pada tahun 1919. Novel ini mengangkat kisah kehidupan seorang anak saudagar yang berencana menyekolahkan anaknya ke Belanda agar Hidjo bisa megangkat derajat keluarganya. Didalamnya juga banyak memperkenalkan masalah-masalah baru tentang benturan kebudayaan antara barat dan timur.
Student Hidjo bertutur secara linier, hanya lurus kedepan tidak memikirkan masa lalu karena Mas Marco Kartodikromo menjabarkan cerita ini dimulai dari ayah Hidjo ingin menyekolahkan Hidjo ke Belanda namun ibunda Hidjo tidak ingin pergi dari anak semata wayangnya itu, maka dengan ketakutan yang melanda ibunda Hidjo, ia di jodohkan oleh R.A.Biroe. Dari awal cerita Mas Marco Kartodikromo sudah memunculkan konflik-konflik yang terjadi pada Hidjo hingga klimaksnya pada saat Hidjo di Belanda  dan tergoda rayuan gadis Belanda yang bernama Betje sehingga Hidjo melupakan seluruh nasihat ibunya. Penyelesaian dalam novel ini yaitu seluruh tokoh menikah namun karena perhitungan tanggal kelahiran Jawa, Hidjo kurang baik jika harus menikah dengan R.A.Biroe maka Hidjo menikah dengan R.A. Woengoe yang sudah mencintai Hidjo secara diam-diam, Wardojo dengan R.A. Biroe dan Walter dengan Betje. Novel ini memakai sudut pandang orang ketiga dimana pengarang hanya sebagai pencerita dan memakai nama tokoh.
Dalam Student Hidjo terdapat berbagai masalah yang dimunculkan diantaranya, kultur Jawa, kolonialisme Belanda, pemaknaan warna para tokoh dan banyak lainya. Namun yang saya akan angkat permasalahannya adalah pemaknaan warna para tokoh yang terdapat pada novel Student Hidjo. Mas Marco Kartodikromo mengambarkan tokoh Hidjo sebagai seorang anak saudagar yang patuh kepada orang tua, tidak nakal mengenai urusan perempuan. Tercermin pada dialog Hidjo dengan Ibundanya ketika Hidjo ingin dikirim ke negeri Belanda dan Ibunda Hidjo sangat khawatir.
‘‘Kalau kamu di Negeri Belanda sampai nakal seperti anak-anak Jawa yang ada di Negeri Belanda lainnya, kamu saya tinggal mati,‘‘ kata Raden Nganten.
‘‘Tidak, Bu!‘‘ Jawab anaknya. (Kartodikromo, 1919: 8).
Maka dengan demikian Hidjo sangat patuh kepada orang tuanya. Nama tokoh Hidjo dalam pemaknaan warna yaitu sebagai pembawaan yang tenang, mempu memberi suasana santai dan nyaman bila berada didekatnya. Sesuai dengan Hidjo yang mempunyai pembawaan yang tenang didalam setiap situasi, tidak memperlihatkan kegelisahannya kepada orang lain. Meskipun akhirnya Hidjo mendapat godaan dari seorang anak Belanda bernama Betje, namun seperti pada umumnya manusia yang memiliki keimanan atau pandirian yang terkadang naik turun. Maka Hidjo merupakan gambaran kewajaran manusia seperti itu. Sikap naik turunnya dapat ditolerir.
“Apakah di sini saya bisa dapat kamar untuk dua orang?” tanya Hidjo kepada pelayan hotel, setelah mereka masuk ke hotel.
“Bisa Tuan,” jawab pelayan hotel. Dan Hidjo ditunjukkan kamarnya.
Saat itu juga Hidjo dan Betje langsung masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan. Apa yang terjadi selanjutnya di kamar itu, para pembaca bisa memikir atau menduganya sendiri... (Kartodikromo, 1919: 96).

Nama tokoh R.A. Biroe dalam pemaknaan warna diartikan sebagai orang yang memiliki sifat tenang dalam pembawaannya serta pendiam. Sifat ini sama dengan karakter Biroe. R.A.Biroe digambarkan sebagai seseorang yang pendiam dan pasrah dengan apa yang terjadi dengan kehidupannya. Tercermin ketika Biroe hendak dinikahkan oleh Hidjo dari awal cerita, maka sifat pasrah ini terlihat ia hanya mengikuti perkataan dan permintaan orang tuanya yang ingin menikahkan Biroe dengan Hidjo. Namun kerena ketidakcocokan tanggal kelahiran Jawa, maka Biroe dijodohkan dengan Wardojo. Dalam cerita Biroe telah menaruh hati pada Wardojo tetapi karena ia pendiam maka Biroe tidak mengatakan pada siapapun tentang perasannya.
Kedatangan R.M. Wardojo di kamar itu membuat hati R.A. Biroe berdebar-debar. Tetapi...  ya... tetapi...! (Kartodikromo, 1919: 71).

Kemudian R.A. Woengoe dalam pemakanaan warna tokoh R.A. Woengoe yaitu sebagai warna ungu yang elegant dan memiliki sifat kemewah-mewahan.
Pakaian Raden Ajeng Woengoe yang serba sutra melekat di badannya yang kuning itu, sudah menunjukkan bahwa hatinya senang dan badannya sudah sehat. Kalung zamrud dan cincin berlian yang dipakainya semakin membikin elok paras wajahnya.... (Kartodikromo, 1919: 37).
Hal ini terbukti karena R.A. Woengoe adalah seorang anak priyayi yang memiliki jabatan dalam pemerintahan dan hidup yang berkecukupan. Namun sifat Woengoe yang ditimbulkan Mas Marco Kartodikromo yaitu sifat pendiam hanya menyimpan sendiri tentang perasaannya. Terbukti ketika ia menyukai Hidjo,
Raden Ajeng Woengoe yang sudah beberapa hari badannya sakit karena ikut memikirkan kepergian Hidjo ke Nederland, apabila ia mendengarkan percakapan antara ibunya dan ibu Hidjo, seolah-olah ia mendapatkan obat badannya yang sakit, karena susah. (Kartodikromo, 1919: 36).
Hal ini membukitikan bahwa Woengoe menyukai Hidjo karena ketika Hidjo pergi ke Nederland, Woengoe sangat memikirkan Hidjo hingga badannya sakit.

Jadi, pemakaian nama warna dalam novel Student Hidjo sangat berpengaruh pada sifat dan karekter tokoh yang dibentuk oleh Mas Marco Kartodikromo. Maka pemaknaan warna dalam tokoh menjadi dasar pengambilan karekteristik setiap tokoh.

0 komentar:

Posting Komentar