Novel Student
Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo merupakan novel yang pernah dimuat
sebagai cerita bersambung di Surat Kabar Harian Sinar Hindia pada tahun 1918
dan diterbitkan sebagai novel pada tahun 1919. Novel ini mengangkat kisah
kehidupan seorang anak saudagar yang berencana menyekolahkan anaknya ke Belanda
agar Hidjo bisa megangkat derajat keluarganya. Didalamnya juga banyak
memperkenalkan masalah-masalah baru tentang benturan kebudayaan antara barat
dan timur.
Student
Hidjo bertutur
secara linier, hanya lurus kedepan tidak memikirkan masa lalu karena Mas Marco
Kartodikromo menjabarkan cerita ini dimulai dari ayah Hidjo ingin menyekolahkan
Hidjo ke Belanda namun ibunda Hidjo tidak ingin pergi dari anak semata
wayangnya itu, maka dengan ketakutan yang melanda ibunda Hidjo, ia di jodohkan
oleh R.A.Biroe. Dari awal cerita Mas Marco Kartodikromo sudah memunculkan
konflik-konflik yang terjadi pada Hidjo hingga klimaksnya pada saat Hidjo di
Belanda dan tergoda rayuan gadis Belanda
yang bernama Betje sehingga Hidjo melupakan seluruh nasihat ibunya.
Penyelesaian dalam novel ini yaitu seluruh tokoh menikah namun karena perhitungan
tanggal kelahiran Jawa, Hidjo kurang baik jika harus menikah dengan R.A.Biroe
maka Hidjo menikah dengan R.A. Woengoe yang sudah mencintai Hidjo secara
diam-diam, Wardojo dengan R.A. Biroe dan Walter dengan Betje. Novel ini memakai sudut
pandang orang ketiga dimana pengarang hanya sebagai pencerita dan memakai nama
tokoh.
Dalam Student Hidjo terdapat berbagai masalah
yang dimunculkan diantaranya, kultur Jawa, kolonialisme Belanda, pemaknaan
warna para tokoh dan banyak lainya. Namun yang saya akan angkat permasalahannya
adalah pemaknaan warna para tokoh yang terdapat pada novel Student Hidjo. Mas Marco
Kartodikromo mengambarkan tokoh Hidjo sebagai seorang anak saudagar yang patuh
kepada orang tua, tidak nakal mengenai urusan perempuan. Tercermin pada dialog
Hidjo dengan Ibundanya ketika Hidjo ingin dikirim ke negeri Belanda dan Ibunda
Hidjo sangat khawatir.
‘‘Kalau kamu di Negeri Belanda
sampai nakal seperti anak-anak Jawa yang ada di Negeri Belanda lainnya, kamu
saya tinggal mati,‘‘ kata Raden Nganten.
‘‘Tidak, Bu!‘‘ Jawab anaknya. (Kartodikromo,
1919: 8).
Maka dengan demikian Hidjo sangat
patuh kepada orang tuanya. Nama tokoh Hidjo dalam pemaknaan warna yaitu sebagai
pembawaan yang tenang, mempu memberi suasana santai dan nyaman
bila berada didekatnya. Sesuai dengan Hidjo yang mempunyai pembawaan yang
tenang didalam setiap situasi, tidak memperlihatkan kegelisahannya kepada orang
lain. Meskipun akhirnya Hidjo mendapat godaan dari seorang anak Belanda bernama
Betje, namun seperti pada umumnya manusia yang memiliki keimanan atau pandirian
yang terkadang naik turun. Maka Hidjo merupakan gambaran kewajaran manusia
seperti itu. Sikap naik turunnya dapat ditolerir.
“Apakah di sini saya bisa dapat
kamar untuk dua orang?” tanya Hidjo kepada pelayan hotel, setelah mereka masuk
ke hotel.
“Bisa Tuan,” jawab pelayan hotel.
Dan Hidjo ditunjukkan kamarnya.
Saat itu juga Hidjo dan Betje
langsung masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan. Apa yang terjadi
selanjutnya di kamar itu, para pembaca bisa memikir atau menduganya sendiri...
(Kartodikromo, 1919: 96).
Nama tokoh R.A. Biroe dalam
pemaknaan warna diartikan sebagai orang yang memiliki sifat tenang dalam
pembawaannya serta pendiam. Sifat ini sama dengan karakter Biroe. R.A.Biroe
digambarkan sebagai seseorang yang pendiam dan pasrah dengan apa yang terjadi
dengan kehidupannya. Tercermin ketika Biroe hendak dinikahkan oleh Hidjo dari
awal cerita, maka sifat pasrah ini terlihat ia hanya mengikuti perkataan dan
permintaan orang tuanya yang ingin menikahkan Biroe dengan Hidjo. Namun kerena
ketidakcocokan tanggal kelahiran Jawa, maka Biroe dijodohkan dengan Wardojo.
Dalam cerita Biroe telah menaruh hati pada Wardojo tetapi karena ia pendiam
maka Biroe tidak mengatakan pada siapapun tentang perasannya.
Kedatangan R.M. Wardojo di kamar itu membuat hati R.A. Biroe
berdebar-debar. Tetapi... ya...
tetapi...! (Kartodikromo,
1919: 71).
Kemudian R.A. Woengoe dalam
pemakanaan warna tokoh R.A. Woengoe yaitu sebagai warna ungu yang elegant dan
memiliki sifat kemewah-mewahan.
Pakaian Raden Ajeng Woengoe yang serba sutra melekat
di badannya yang kuning itu, sudah menunjukkan bahwa hatinya senang dan
badannya sudah sehat. Kalung zamrud dan cincin berlian yang dipakainya semakin
membikin elok paras wajahnya.... (Kartodikromo,
1919: 37).
Hal ini terbukti karena R.A. Woengoe
adalah seorang anak priyayi yang memiliki jabatan dalam pemerintahan dan hidup
yang berkecukupan. Namun sifat Woengoe yang ditimbulkan Mas Marco Kartodikromo
yaitu sifat pendiam hanya menyimpan sendiri tentang perasaannya. Terbukti
ketika ia menyukai Hidjo,
Raden Ajeng Woengoe yang sudah beberapa hari badannya
sakit karena ikut memikirkan kepergian Hidjo ke Nederland, apabila ia
mendengarkan percakapan antara ibunya dan ibu Hidjo, seolah-olah ia mendapatkan
obat badannya yang sakit, karena susah. (Kartodikromo, 1919: 36).
Hal ini membukitikan bahwa Woengoe
menyukai Hidjo karena ketika Hidjo pergi ke Nederland, Woengoe sangat
memikirkan Hidjo hingga badannya sakit.
Jadi, pemakaian nama warna dalam
novel Student Hidjo sangat
berpengaruh pada sifat dan karekter tokoh yang dibentuk oleh Mas Marco
Kartodikromo. Maka pemaknaan warna dalam tokoh menjadi dasar pengambilan
karekteristik setiap tokoh.
0 komentar:
Posting Komentar