FEODALISME KEBUDAYAAN JAWA
Dalam Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer
(Pramoedya)
Pendahuluan
Karya
sastra tidak lahir begitu saja. Karya sastra lahir dari hasil kreativitas,
realitas dan imajinasi pengarang. Hasil imajinasi pengarang bukanlah kitab
pelajaran dan tidak sama dengan kitab pelajaran, maka karya hasil imajinasi
tidak dapat dikaji seperti mengkaji kitab pelajaran. Suatu karya sastra bukanlah buku katekismus
dan buku sejarah (Jassin, 1970 : 18). Dengan imajinasinya pengarang ingin
mewujudkan kembali sederetan pengalaman-pengalaman tertentu yang pernah akrab
dengan lingkungan dan kehidupannya. Maka orang dapat mengetahui nilai-nilai
hidup, susunan adat istiadat, suatu keyakinan, dan pandangan hidup orang lain
atau masyarakat melalui karya sastra.
Sastrawan
memberi makna lewat kenyataan yang dapat diciptakannya dengan bebas, asal tetap
dipahami oleh pembaca (Teeuw, 1984 : 248). Sastra merupakan cermin masyarakat. Keberadaan
karya sastra memang tidak lepas dari masyarakat dan kenyataan sosial di
sekelilingnya. Oleh karena itu karya sastra merupakan ekspresi zamannya sendiri
sehingga ada hubungan sebab akibat antara karya sastra dengan situasi sosial
tempat ia dilahirkan. Sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan,
sedikit banyaknya, mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra
tersebut dan tidak langsung terungkap dalam sistem tanda bahasanya (Teeuw, 1984
: 100).
Maka
karya sastra diciptakan oleh pengarang sebagai hasil dari sebuah proses
merespons situasi lingkungan dan sosialnya. Oleh karena itu, karya sastra akan
mampu mengidentifikasikan peristiwa-peristiwa
sosial yang penting pada zamannya sehingga bisa mencapai ekspresi yang padu
dengan realita. Melalui latar waktu, tempat, sosial, dan budaya serta peristiwa
yang diciptakan tokoh, sehingga kita dapat merasakan berbagai persoalan yang
dirasakan tokoh.
Setiap
karya adalah manifestasi sebuah sistem yang sedikit banyaknya harus dikuasai
oleh pembaca agar karya yang dibacanya dapat diberi makna (Teeuw, 1984 : 318). Maka dari itu kita harus
dapat menguasai dan dapat menganalisis karya sastra tersebut. Kita pun harus
dapat membedakan pembagian setiap periode-periode sastra.
Dalam
sejarah sastra Indonesia pada periode 1961-1971 masih penuh dengan pertentangan
sastrawan yang mewakili kepentingannya masing-masing. Hal ini dapat dibuktikan
dengan masih adanya konflik antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang
mengusung nilai-nilai Realisme Sosial dengan Manifes kebudayaan (Manikebu) yang
mengusung nilai-nilai Humanisme Universal.
Berikut
ini tokoh-tokoh dan karyanya pada periode 1961-1971 yaitu S.Ananta Guna Jang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah (1964).
Bur Raswanto Bumi Jang Berpeluh
(1963), Mereka Akan Bangkit (1964).
A. Bastani Asnin Ditengah Padang
(1962), Laki-laki Berkuda (1963). Satyagraha
Hoerip Soeprobo Sepasang Suami Istri (1964), Resibisma
(1963). Gerson Poyk Hari-hari Pertama.
Ras Siregar Harmoni (1965). L.C.Bach Hati Membadja (1964). Djumari Obeng Dunia Belum Kiamat (1963). Poernawan
tjongronagoro Mendarat Kembali
(1962), Mabok Sake (1962). Rosida
Amir Djalan Jang Kunjung Datar
(1962). Zen Rosdy Tjinta Pertama
(1964). Thabrin Tahar Guruh Kering
(1963). Matia Madijah Kasih di Medan Perang
(1962). Goenawan Moehamad Siapakah
Laki-laki yang Rebahan di Taman Ini (1964). Kamal Firdaus T.F Dibawah Fajar Menjingsing (1965). Titie
Said Perdjuangan dan Hati Perempuan
(1962). S. Tjahjaningsih Dua Kerinduan
(1963). Ajip Rosidi Pertemuan Kembali
(1961). Matinggo Busye Tidak Menyerah
(1962), Bibi Marsiti (1963), Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963), Perempuan Itu Bernama Barabah (1963).
Mochtar Lubis Tanah Gersang (1964), Si Jamal (1964). Ali Akbar Navis Bianglala- kumpulan cerpen pendek
(1963), Hujan Panas (1964). Utuy
Tatang Sotani Awal dan Mira- drama satu
babak (1962). Suman H.S Kasih Ta’
Terlerai (1961). Djamil Suherman Perjalanan
Ke Akhirat (1962), Manifestasi (1963).
W.S. Rendra Empat Kumpulan Sajak
(1961), Ia Sudah Bertualang dan
Tjerita-tjerita Pendek Lainnya (1963). M. Yamin Gembala (1963). Pramoedya Ananta Toer Panggil Aku Kartini Saja (1962), Gadis Pantai (1965).
Pada sastra periode ini
karya-karya sastra lebih menceritakan tentang kehidupan masyarakat, persoalan
emansipasi, menonjolkan nasionalisme dan romantisme.
Pada tulisan ini akan memperdalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
Novel ini terdapat nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam masyarakat Jawa
yaitu sistem kelas dan feodalisme di kalangan masyarakat dan menjadikannya
sebagai unsur-unsur pembangun karya sastra.
Kerangka Teori
Sebelum masuk kedalam pembahasan,
maka kita harus mengetahui pengertian kebudayaan terlebih dahulu. Agar dapat
memperjelas fokus masalah yang akan dibahas.
Istilah
kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Buddhayah yang merupakan jamak
dari buddhi yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal budi
manusia. Menurut Edward Burnett Tylor kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang
sebagai anggota masyarakat.
Namun
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kebudayaan adalah hasil kegiatan dan
penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat
istiadat serta keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi
pedoman tingkah lakunya.
Sedangkan
menurut Manifes Kebudayaan (Manikebu), kebudayaan adalah pejuangan manusia
sebagai totalitas dalam menyempurnakan kondisi-kondisi hidupnya.
Kebudayaan
merupakan sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi
sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia sehari-hari.
Kebudayaan itu bersifat abstrak dan kebudayaan sangat erat hubungannnya dengan
masyarakat.
Istilah
feodalisme ikut masuk dalam novel aliran
realisme sosialis ini. Sistem feodal adalah sistem kemasyarakatan
berdasarkan pemilikan tanah luas atau raja (Hans Antlov dan Sven Cederroth,
diakses dari http://www.persekutuanstudireformed.org/artikel/s8.html#_ftn7 20
Mei 2012). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia feodalisme adalah sistem sosial
atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.
Sikap-sikap
feodalisme itulah yang tercermin dalam novel Gadis Pantai, terkait dengan penghormatan kepada seseorang atau
sekeluarga berdasarkan keturunan, kekayaan, dan simbol-simbol materialisme
lainnya.
Sesuai
dengan tema “Feodalisme Kebudayaan Jawa dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya
Ananta Toer” maka akan menggunakan teori pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan dalam
karya sastra yang pendekatannya lebih menitikberatkan pada tempramen
dan ekspresi penulis dalam buku Abrams, 1981:189 (Siswanto, 2008 : 181). Pendekatan ekpresif tersebut mengenai
keadaan jiwa atau emosi sastrawan atau pengarang yang dituangkan dalam karyanya
sehingga memiliki nilai dan isi tersendiri yang ingin disampaikan oleh
sastrawan atau pengarang.
Selain pendekatan ekspresif dalam roman ini
juga terdapat pendekatan sosiologi. Pendekatan sosiologi adalah sastra
merupakan metode penelaah sastra yang menelusuri dan mengaitkan karya sastra
dengan nilai-nilai dan latar belakang sosial budaya masyarakat (Hidayat, 2006 :
22)
Pendekatan ekspresif lebih banyak memanfaatkan
data sekunder, data yang sudah diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai
subjek pencipta, jadi sebagai data literer (Ratna, 2007 : 68). Dengan pendekatan
ekspresif inilah Pram mengangkat masalah kebudayaan Jawa yang terjadi di awal
abad-20an, karena Pram dapat memanfaatkan data sekunder yaitu dari cerita
ibunya.
Novel Gadis Pantai menggunakan pendekatan
ekspresif karena Gadis Pantai merupakan
sebuah roman keluarga karena berkait dengan keluarga pengarang sendiri. Gadis Pantai adalah sebutan yang Pram
pilih untuk neneknya. Memang neneknya berasal dari pesisir utara Jawa dan
pernah dijadikan ‘istri percobaan’ oleh seorang kaya. Dari ‘perkawinan uji coba’
ini lahir seorang bayi perempuan yang kelak melahirkan Pram.
Pramoedya
sendiri menjelaskan dalam kata pengantar roman Gadis Pantai bahwa
Dia, nenek darahku sendiri,
pribadi yang kucintai, kukagumi, kubanggakan. Inilah tebusan janjiku. Pada dia
yang tak pernah ceritakan sejarah diri. Dia yang tak pernah kuketahui namanya.
Maka cerita ini kubangun dari orang lain, dari yang dapat kusaksikan,
kukhayalkan, kutuangkan. (Pramoedya, 2003:10)
Pram pun
mengungkapkan keadaan emosi, ide dan gagasan dalam novel Gadis Pantai yang terjadi kesenjangan sosial antara golongan kelas
atas dengan golongan kelas bawah. Novel
ini memperjuangkan golongan kelas bawah yang diwakili oleh tokoh gadis pantai, agar tidak terdapat lagi masyarakat
berkelas-kelas. Novel ini di samping mencerminkan kenyatan sosial pada masa itu
di Jawa juga menyuarakan perlawanan terhadap kelas tinggi dalam masyarakat Jawa dalam novel ini
diwakili oleh tokoh Bendoro.
Sinopsis Cerita Gadis Pantai
Setelah menikah dengan Bendoro
akhirnya Gadis Pantai diboyong menuju kota tempat suaminya itu tinggal. Awalnya
gadis itu tidak mau pindah ke rumah mewah di kota itu, tapi ia terus diantarkan
orang tuanya yang berpikir Gadis Pantai akan hidup berbahagia dan nyaman di
sana. Di rumah Bendoro tersebut ada seorang pembantu tua yang mengajarkan
kepada Gadis Pantai segalanya yang harus dia tahu dan lakukan untuk memelihara
kenangan suaminya yang berdarah ningrat itu.
Ketika telah menjadi istri Bendoro
nama Gadis Pantai akhirnya diganti menjadi Mas Nganten. Seiring waktu berjalan
akhirnya Mas Nganten terbiasa dengan pembantu tua itu hingga mereka berdua
saling menyukai. Selain dia (Pembantu tua), tidak ada orang pun di rumah
itu yang peduli pada Mas Nganten yang merasa sangat sendirian. Bahkan
dikunjungi oleh suaminya sendiripun jarang karena alasan kesibukannya sebagai
seorang pembesar.
Suatu ketika terjadi masalah dalam
rumah Bendoro yang ukurannya jauh lebih besar dari rumah-rumah yang ada di
Kampung Nelayan tempat Gadis Pantai berasal. Tak disangka ternyata hal itu
sampai membuat pembantu tua yang berkawan baik dengan Mas Nganten harus angkat
kaki dari tempat ia mengabdikan dirinya selama bertahun-tahun untuk Bendoro.
Semua itu bermula ketika pembantu itu mengkritik anak-anak yang ada di rumah
(Agus) karena kesalahan yang telah mereka lakukan.
Setelah kepergian pembantu tua itu,
pembantu berikutnya ternyata jauh berbeda dengan pembantu sebelumnya. Ia adalah
Mardinah,
seorang pelayan baru. Dia anak seorang jurutulis dari kota. Sikapnya berani
kepada Gadis Pantai. Belakangan terungkap bahwa dia diutus bendoro putri bupati
demak untuk mengupayakan agar anak bendoro putri bisa dikawini oleh suami Gadis
Pantai. Mardinah diberi janji apabila berhasil maka dia akan diambil jadi istri
kelima.
Perlahan Gadis Pantai yang berasal dari kampung itu mulai menyadari bahwa
pernikahannya dengan Priyayi itu hanyalah percobaan saja karena nantinya
suaminya itu akan menikah dengan wanita segolongan ningrat seperti Bendoro.
Tetapi dengan tabah dijalaninya semua takdir yang telah memaksanya masuk jauh
lebih dalam pada kehidupan yang awalnya tidak diinginkannya.
Suatu hari Gadis Pantai mendapat
ijin untuk mengunjungi orang tuanya di kampung. Disitu dia mengalami perubahan
perilaku orang kampung terhadap dirinya. Dia dianggap Bendoro, priyayi bukan
orang kampung lagi. Itu merupakan hal yang sangat menyedihkan dan menyakitkan
buat Gadis Pantai.
Tiga tahun
berjalan usia pernikahan Gadis Pantai dan Bendoro akhirnya ia di karuniai
seorang buah hati yang sudah sangat dinanti-nanti oleh orang tua Gadis Pantai
tapi tidak untuk Bendoro atau suaminya sendiri. Namun nasib buruk masih setia
mengiringi kisah hidup Gadis Pantai, setelah mengetahui bayi yang dilahirkan
Gadis Pantai ialah bayi perempuan, akhirnya Bendoro menceraikannya dan
mengusirnya dari bangunan megah, istana Bendoro itu. Dan yang lebih menyayat
hati, Gadis Pantai terpaksa harus meninggalkan darah dagingnya yang baru
berusia beberapa hari itu karena perintah dari suaminya yang tega membuangnya
begitu saja bagai sampah.
Dengan hati hancur Gadis Pantai meninggalkan
anaknya di rumah si Bendoro. Malu dengan keadaannya yang tak
bersuami, tak punya rumah, dan anaknya dirampas Bapaknya sendiri, Gadis
Pantai memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halamannya sendiri. Tapi
ia berbelok ke selatan, ke Blora. Selama sebulan setelah kepergiannya, ia
selalu mengawasi keadaan rumah si Bendoro. Namun setelahnya, ia tak kelihatan
lagi.
Pembahasan
Dari novel Gadis Pantai, didapatkan unsur sosial
budaya yang melatarbelakangi penciptaannya, yaitu tentang sistem sosial dalam
budaya masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa terbagi menjadi tiga tipe yang mencerminkan organisasi
moral kebudayaan, yaitu kebudayaan abangan, santri, dan priyayi.
Golongan abangan adalah penganut kejawen yang sangat percaya akan
adanya makhluk halus yang mempengaruhi kehidupan manusia, seperti dalam
praktek-praktek pengobatan, santet, magi dan magis.
Golongan Santri
adalah suatu golongan yang
menjalankan kaidah-kaidah agama Islam secara murni. Golongan ini biasanya
terisi dari kalangan pedagang dan sebagian kecil petani.
Sedangkan golongan priyayi adalah mereka yang
kebangsawanannya dimiliki secara turun-temurun.
Menurut
Geertz, golongan abangan adalah aspek-aspek animisme sinkretisme Jawa secara
keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani desa dan sangat percaya akan eksistensi makhluk halus
yang mempengaruhi kehidupan manusia,
seperti dalam praktek-praktek pengobatan, santet, dan magis.
Golongan
Santri adalah lebih menekankan aspek-aspek Islam sinkretisme itu dan pada
umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang dan unsur-unsur tertentu kaum tani
serta menjalankan
kaidah-kaidah agama Islam secara lebih murni, dengan melaksanakan secara cermat
dan teratur asas-asas peribadatan Islam seperti shalat, puasa, dan haji.
Sedangkan
golongan Priyayi adalah mereka yang berasal dari aristokrat, yang kebangsawanannya dimiliki secara
turun-temurun. Mereka lebih menitikberatkan kepada elemen-elemen Hinduisme yang
secara luas dihubungkan dengan unsur-unsur birokratis (Geertz, 1983 : 6).
Priyayi
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang kebanyakan, mereka
hidup berkecukupan, seperti terlihat dari cuplikan dialog:
“Ya, orang kebanyakan seperti
sahaya inilah, bekerja berat tapi makan pun hampir tidak.” (Pramoedya,
2003: 54)
dan pada cuplikan dialog:
”Bagi orang sudah tua seperti
sahaya ini, siapa yang beri makan di sana? semua pada hidup susah.” (Pramoedya,
2003: 55).
Kemudian pada cuplikan dialog:
”Tambah mulia
seseorang, Mas Nganten, tambah tak perlu ia kerja. Hanya orang kebanyakan yang
kerja.” (Pramoedya,
2003: 68).
Karena kedudukannya yang dianggap lebih tinggi itu, para
priyayi harus dihormati dan diperlakukan seolah raja oleh para kelas yang lebih
rendah, hal ini tercermin dalam cuplikan dialog:
”Pada aku ini, Mas Nganten tak
boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan untuk Mas
Nganten.” (Pramoedya,
2003: 27).
Dan pada cuplikan dialog
”Tidak mungkin orang kampung
memerintah anak priyayi. Tidak bisa. Tidak mungkin.” (Pramoedya,
2003: 127)
Para
priyayi menganggap, orang dengan kelas lebih rendah dari dirinya adalah
miliknya sepenuhnya. Oleh karena itu, ia berhak mengatur kehidupan mereka.
Seperti dalam cuplikan dialog:
”Kau milikku.
Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan mesti kau
kerjakan. Diamlah kau sekarang. Malam semakin larut.” (Pramoedya, 2003:
136)
Pada dialog-dialog diatas, dapat
tercermin bahwa para priyayi selalu merasa lebih tinggi dan berhak mengatur
hidup kelas yang lebih rendah. Para priyayi bersikap sewenang-wenang karena
mereka menganggap dirinya seperti raja.
Jika seorang priyayi menikah dengan gadis dari tingkat
kelas yang lebih rendah, maka gadis itu belum dianggap sebagai istri sahnya.
Priyayi itu masih dianggap perjaka jika belum menikah dengan wanita dari
kalangan yang sederajat dengannya. Seperti terlihat dari cuplikan dialog:
”Jadi Mas Nganten tahu siapa
sahaya. Seseorang yang kebangsawanannya lebih tinggi dari Bendoro telah
perintahkan sahaya kemari. Sudah waktunya Bendoro kawin benar-benar dengan
seorang gadis yang benar-benar bangsawan juga. Di Demak sudah menunggu. Siapa
saja boleh Bendoro ambil, sekalipun sampai empat.” (Pramoedya,
2003: 132)
Oleh
karena itu, kaum priyayi Jawa merasa bahwa mereka memiliki kedudukan yang
tinggi sehingga mereka layak dan pantas untuk dihargai. Sedangkan untuk kaum
abangan, paradigma-paradigma seperti itulah yang membuat kaum abangan cenderung
layak untuk ditindas dan dikucilkan oleh kaum priyayi karena keterbatasan apa
yang mereka miliki sebagai petani atau nelayan.
Dan tugas bagi orang yang kedudukannya lebih rendah
adalah mengabdi kapada para priyayi tersebut, seperti dalam cuplikan dialog:
”Apa salahku?”
”Salah Mas Nganten seperti salah sahaya, salah kita, berasal
dari orang kebanyakan.”
”Lantas Mbok, lantas?”
”Kita sudah ditakdirkan oleh
orang yang kita puji dan yang kita sembah buat jadi pasangan orang rendahan.
Kalau tidak ada orang-orang rendahan, tentu tidak ada orang atasan.”
”Aku ini, Mbok, aku ini orang
apa? rendahan? atasan?”
”Rendahan Mas Nganten, maafkan
sahaya, tapi menumpang di tempat atasan.”
”Jadi apa yang mesti aku
perbuat?”
”Ah, beberapa kali sudah
sahaya katakan. Mengabdi, Mas Nganten. Sujud, takluk sampai tanah pada
Bendoro...” (Pramoedya,
2003: 99)
Kehidupan feodalisme seorang priyayi
Jawa yang membentuk dominasinya terhadap masyarakat biasa di buku Gadis
Pantai memperlihatkan kentalnya struktur kekuasaan yang dimunculkan dalam
roman ini. Adab dan tidak berkemanusiaan, menjadi beberapa cerita yang berhasil
digambarkan oleh Pram dalam sosok priyayi-priyayi Jawa pada roman ini.
“Kau
harus ingat, ingat mBok,” pemuda yang tergarang di antara semuanya
menghantam, “kami adalah kerabat terdekat. Orang-orang kampung yang tinggal di
sini, kapan saja bisa pergi buat mati kelaparan di luar sana. Kami tinggal di
sini. Tinggal tetap di sini, biar seribu orang kampung keluar dari sini
setiap hari, mengerti?” (Pramoedya, 2003: 113)
Kutipan di atas sebenarnya hanya
salah satu dari beberapa hal yang dilukiskan oleh penulis dalam romannya ini.
Sebuah bentuk hubungan dominasi sosial yang dipegang oleh kelompok priyayi dan
keluarganya. Dalam roman ini dilukiskan dalam kelompok nelayan dan para bujang
yang setia menjadi pembantu Bendoro (priyayi) di rumahnya dengan upah yang
minim.
Penutup
Demikian
sistem feodalisme Jawa dalam novel Gadis
Pantai sebagai propaganda
untuk menolak sistem kelas dan memperjuangkannya dituangkan dalam
narasi-narasi, deskripsi tokoh dan perasaan tokoh, kemudian deskripsi kehidupan
tokoh dan dalam dialog-dialog antartokoh.
Novel
ini sangat kritis membicarakan feodalisme Jawa pada masa itu. Sebuah novel yang
mungkin mewakilkan suara rakyat jelata, rakyat dari golongan bawah dalam sistem
feodalisme Jawa, para priyayi yang bercokol di kaki-kaki pemerintah Belanda.
Perbedaan yang sangat memilukan, bahwa status sosial sangatlah penting di masa
itu. Golongan priyayi (termasuk kaum bendoro) adalah orang-orang suci yang
sulit untuk disentuh, mereka berhak memperlakukan apa saja terhadap rakyat
bawahnya, termasuk mengawini anak-anak gadis mereka dijadikan sebagai Mas
Nganten yang akhirnya dicampakkan begitu saja.
Dalam
novel ini terdapat pula isu-isu gender, penindasan laki-laki terhadap
perempuan, pengekangan hak ibu terhadap anak, laki-laki yang bebas berpoligami,
dan perempuan dijadikan budak nafsu baginya. Anggapan rakyat feodal bahwa anak
laki-laki adalah anak yang bisa dibanggakan dan anak yang bisa meneruskan
kekuasaannya, sehingga anak perempuan itu seperti manusia yang menyusahkan, tak
berdaya dan tak dapat dibanggakan. Hal ini terlihat dari sikap sang Bendoro
ketika ia tahu bahwa gadis pantai melahirkan seorang bayi perempuan, betapa
murkanya ia.
Melalui roman
ini Pram tampak mencemooh mentalitas priyayi, orang-orang yang menghindarkan
diri dari tanggung jawab sosialnya dan menikmati kebudayaannya yang selalu
dipuji dengan mendzalimi dan menghinakan sesama manusia. Pramoedya juga secara
terang-terangan mencoba menggambarkan dunia kepriyayian yang penuh
kesewenang-wenangan, tak berperasaan sebagaimana terlihat pada kalimat-kalimat
berikut:
”Mengerikan bapak, mengerikan
kehidupan priyayi ini…..” (Pramoedya, 2003: 260)
”…..Seganas-ganas laut, dia
lebih pemurah dari hati priyayi.” (Pramoedya, 2003: 266)
Ah, tidak. Aku tidak suka
pada priyayi. Gedung-gedung berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa
perasaan. (Pramoedya, 2003: 268)
Roman ini tak
memperlihatkan bagaimana usaha manusia, individu, untuk tetap dapat
mempertahankan idealismenya. Hal ini tampak di akhir cerita ketika Gadis Pantai
sudah diusir dari gedung, Gadis Pantai memutuskan untuk tidak kembali pada
keluarganya di kampung nelayan yang selama ini sangat ia dirindukan. Namun
Gadis Pantai lebih memilih pergi jauh. Gadis Pantai mampu menentukan jalan
hidupnya sendiri. Seperti pada dialog:
”Tidak, bapak, aku tak
kembali ke kampung. Aku mau pergi jauh!” (Pramoedya, 2003: 269).
Feodalisme
Jawa berkembang seolah-olah tidak akan punah. Namun kebudayaan Jawa dapat
bertahan karena feodalisme
bukanlah sesuatu yang harus dilihat dengan kacamata benar dan salah, melainkan
sesuatu yang telah ada, harus dilaksanakan dan dikerjakan. Dengan sistem birokrasi itu identitas budaya lokal semakin terkikis dan mengakibatkan
lahirnya generasi lokal yang memiliki rasa rendah diri dengan identitas kultural lokalnya.
Namun pelajaran yang paling mudah diambil dalam novel Gadis Pantai adalah bahwa dalam kehidupan bermasyarakat manusia
tidak boleh membeda-bedakan sesama manusia, sebab manusia memiliki derajat yang
sama di mata Tuhan.
Daftar Pustaka
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa. Jakarta : Pustaka Jaya
Hans Antlov dan Sven Cederroth, “Kepemimpinan
Jawa : Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter” (Yayasan Obor Indonesia :
Jakarta, 2001), h.xii. (http://www.persekutuanstudireformed.org/artikel/s8.html#_ftn7,
diunduh pada 20 Mei 2012)
Hidayat, Endang dan Widjojoko. 2006. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia.
Bandung : UPI Prees
Jassin,
H.B. 1970. Heboh Sastra 1968 Suatu
Pertanggung Jawab. Jakarta: Gunung Agung
Manifes
Kebudayaan. 1963. Dokumentasi
Kesusastraan H.B. Jassin. Jakarta
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Siswanto, Wahyudin Dr. 2008. Pengantar
Teori Sastra. Jakarta: Grasindo
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya
Tim
Penyusun Kamus. 2007. Kamus BesarB ahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Toer,
Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara
Thank's bro atas sinopsisnya.
BalasHapus:D
@Idho Djentak: iya bro sama-sama :D
BalasHapusTolong bro masukan tanggal pembuat novel itu...
BalasHapus#pembuat