Jumat, 09 November 2012

Analisis Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer


FEODALISME KEBUDAYAAN JAWA
Dalam Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer (Pramoedya)


Pendahuluan
Karya sastra tidak lahir begitu saja. Karya sastra lahir dari hasil kreativitas, realitas dan imajinasi pengarang. Hasil imajinasi pengarang bukanlah kitab pelajaran dan tidak sama dengan kitab pelajaran, maka karya hasil imajinasi tidak dapat dikaji seperti mengkaji kitab pelajaran.  Suatu karya sastra bukanlah buku katekismus dan buku sejarah (Jassin, 1970 : 18). Dengan imajinasinya pengarang ingin mewujudkan kembali sederetan pengalaman-pengalaman tertentu yang pernah akrab dengan lingkungan dan kehidupannya. Maka orang dapat mengetahui nilai-nilai hidup, susunan adat istiadat, suatu keyakinan, dan pandangan hidup orang lain atau masyarakat melalui karya sastra.
Sastrawan memberi makna lewat kenyataan yang dapat diciptakannya dengan bebas, asal tetap dipahami oleh pembaca (Teeuw, 1984 : 248). Sastra merupakan cermin masyarakat. Keberadaan karya sastra memang tidak lepas dari masyarakat dan kenyataan sosial di sekelilingnya. Oleh karena itu karya sastra merupakan ekspresi zamannya sendiri sehingga ada hubungan sebab akibat antara karya sastra dengan situasi sosial tempat ia dilahirkan. Sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan, sedikit banyaknya, mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebut dan tidak langsung terungkap dalam sistem tanda bahasanya (Teeuw, 1984 : 100).
Maka karya sastra diciptakan oleh pengarang sebagai hasil dari sebuah proses merespons situasi lingkungan dan sosialnya. Oleh karena itu, karya sastra akan mampu mengidentifikasikan  peristiwa-peristiwa sosial yang penting pada zamannya sehingga bisa mencapai ekspresi yang padu dengan realita. Melalui latar waktu, tempat, sosial, dan budaya serta peristiwa yang diciptakan tokoh, sehingga kita dapat merasakan berbagai persoalan yang dirasakan tokoh.
Setiap karya adalah manifestasi sebuah sistem yang sedikit banyaknya harus dikuasai oleh pembaca agar karya yang dibacanya dapat diberi makna  (Teeuw, 1984 : 318). Maka dari itu kita harus dapat menguasai dan dapat menganalisis karya sastra tersebut. Kita pun harus dapat membedakan pembagian setiap periode-periode sastra.
Dalam sejarah sastra Indonesia pada periode 1961-1971 masih penuh dengan pertentangan sastrawan yang mewakili kepentingannya masing-masing. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih adanya konflik antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mengusung nilai-nilai Realisme Sosial dengan Manifes kebudayaan (Manikebu) yang mengusung nilai-nilai Humanisme Universal.
Berikut ini tokoh-tokoh dan karyanya pada periode 1961-1971 yaitu S.Ananta Guna Jang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah (1964). Bur Raswanto Bumi Jang Berpeluh (1963), Mereka Akan Bangkit (1964). A. Bastani Asnin Ditengah Padang (1962), Laki-laki Berkuda (1963). Satyagraha Hoerip Soeprobo Sepasang Suami Istri (1964), Resibisma (1963). Gerson Poyk Hari-hari Pertama. Ras Siregar Harmoni (1965). L.C.Bach Hati Membadja (1964). Djumari Obeng Dunia Belum Kiamat (1963). Poernawan tjongronagoro Mendarat Kembali (1962), Mabok Sake (1962). Rosida Amir Djalan Jang Kunjung Datar (1962). Zen Rosdy Tjinta Pertama (1964). Thabrin Tahar Guruh Kering (1963). Matia Madijah Kasih di Medan Perang (1962). Goenawan Moehamad Siapakah Laki-laki yang Rebahan di Taman Ini (1964). Kamal Firdaus T.F Dibawah Fajar Menjingsing (1965). Titie Said Perdjuangan dan Hati Perempuan (1962). S. Tjahjaningsih Dua Kerinduan (1963). Ajip Rosidi Pertemuan Kembali (1961). Matinggo Busye Tidak Menyerah (1962), Bibi Marsiti (1963), Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963), Perempuan Itu Bernama Barabah (1963). Mochtar Lubis Tanah Gersang (1964), Si Jamal (1964). Ali Akbar Navis Bianglala- kumpulan cerpen pendek (1963), Hujan Panas (1964). Utuy Tatang Sotani Awal dan Mira- drama satu babak (1962). Suman H.S Kasih Ta’ Terlerai (1961). Djamil Suherman Perjalanan Ke Akhirat (1962), Manifestasi (1963). W.S. Rendra Empat Kumpulan Sajak (1961), Ia Sudah Bertualang dan Tjerita-tjerita Pendek Lainnya (1963). M. Yamin Gembala (1963). Pramoedya Ananta Toer Panggil Aku Kartini Saja (1962), Gadis Pantai (1965).
Pada sastra periode ini karya-karya sastra lebih menceritakan tentang kehidupan masyarakat, persoalan emansipasi, menonjolkan nasionalisme dan romantisme.
            Pada tulisan ini akan memperdalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini terdapat nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam masyarakat Jawa yaitu sistem kelas dan feodalisme di kalangan masyarakat dan menjadikannya sebagai unsur-unsur pembangun karya sastra.

Kerangka Teori
            Sebelum masuk kedalam pembahasan, maka kita harus mengetahui pengertian kebudayaan terlebih dahulu. Agar dapat memperjelas fokus masalah yang akan dibahas.
Istilah kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Buddhayah yang merupakan jamak dari buddhi yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal budi manusia. Menurut Edward Burnett Tylor kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat serta keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Sedangkan menurut Manifes Kebudayaan (Manikebu), kebudayaan adalah pejuangan manusia sebagai totalitas dalam menyempurnakan kondisi-kondisi hidupnya.
Kebudayaan merupakan sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia sehari-hari. Kebudayaan itu bersifat abstrak dan kebudayaan sangat erat hubungannnya dengan masyarakat.
Istilah feodalisme ikut masuk dalam novel aliran realisme sosialis ini. Sistem feodal adalah sistem kemasyarakatan berdasarkan pemilikan tanah luas atau raja (Hans Antlov dan Sven Cederroth, diakses dari http://www.persekutuanstudireformed.org/artikel/s8.html#_ftn7 20 Mei 2012). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.
Sikap-sikap feodalisme itulah yang tercermin dalam novel Gadis Pantai, terkait dengan penghormatan kepada seseorang atau sekeluarga berdasarkan keturunan, kekayaan, dan simbol-simbol materialisme lainnya.
Sesuai dengan tema “Feodalisme Kebudayaan Jawa dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer” maka akan menggunakan teori pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan dalam karya sastra yang pendekatannya lebih menitikberatkan pada tempramen dan ekspresi penulis dalam buku Abrams, 1981:189 (Siswanto, 2008 : 181). Pendekatan ekpresif tersebut mengenai keadaan jiwa atau emosi sastrawan atau pengarang yang dituangkan dalam karyanya sehingga memiliki nilai dan isi tersendiri yang ingin disampaikan oleh sastrawan atau pengarang.
Selain pendekatan ekspresif dalam roman ini juga terdapat pendekatan sosiologi. Pendekatan sosiologi adalah sastra merupakan metode penelaah sastra yang menelusuri dan mengaitkan karya sastra dengan nilai-nilai dan latar belakang sosial budaya masyarakat (Hidayat, 2006 : 22)
Pendekatan ekspresif lebih banyak memanfaatkan data sekunder, data yang sudah diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai subjek pencipta, jadi sebagai data literer (Ratna, 2007 : 68). Dengan pendekatan ekspresif inilah Pram mengangkat masalah kebudayaan Jawa yang terjadi di awal abad-20an, karena Pram dapat memanfaatkan data sekunder yaitu dari cerita ibunya.
Novel Gadis Pantai menggunakan pendekatan ekspresif karena Gadis Pantai merupakan sebuah roman keluarga karena berkait dengan keluarga pengarang sendiri. Gadis Pantai adalah sebutan yang Pram pilih untuk neneknya. Memang neneknya berasal dari pesisir utara Jawa dan pernah dijadikan ‘istri percobaan’ oleh seorang kaya. Dari ‘perkawinan uji coba’ ini lahir seorang bayi perempuan yang kelak melahirkan Pram.
Pramoedya sendiri menjelaskan dalam kata pengantar roman Gadis Pantai bahwa
Dia, nenek darahku sendiri, pribadi yang kucintai, kukagumi, kubanggakan. Inilah tebusan janjiku. Pada dia yang tak pernah ceritakan sejarah diri. Dia yang tak pernah kuketahui namanya. Maka cerita ini kubangun dari orang lain, dari yang dapat kusaksikan, kukhayalkan, kutuangkan. (Pramoedya, 2003:10)
Pram pun mengungkapkan keadaan emosi, ide dan gagasan dalam novel Gadis Pantai yang terjadi kesenjangan sosial antara golongan kelas atas dengan golongan kelas bawah. Novel ini memperjuangkan golongan kelas bawah yang diwakili oleh tokoh gadis pantai, agar tidak terdapat lagi masyarakat berkelas-kelas. Novel ini di samping mencerminkan kenyatan sosial pada masa itu di Jawa juga menyuarakan perlawanan terhadap kelas tinggi dalam masyarakat Jawa dalam novel ini diwakili oleh tokoh Bendoro.

Sinopsis Cerita Gadis Pantai
Setelah menikah dengan Bendoro akhirnya Gadis Pantai diboyong menuju kota tempat suaminya itu tinggal. Awalnya gadis itu tidak mau pindah ke rumah mewah di kota itu, tapi ia terus diantarkan orang tuanya yang berpikir Gadis Pantai akan hidup berbahagia dan nyaman di sana. Di rumah Bendoro tersebut ada seorang pembantu tua yang mengajarkan kepada Gadis Pantai segalanya yang harus dia tahu dan lakukan untuk memelihara kenangan suaminya yang berdarah ningrat itu.
Ketika telah menjadi istri Bendoro nama Gadis Pantai akhirnya diganti menjadi Mas Nganten. Seiring waktu berjalan akhirnya Mas Nganten terbiasa dengan pembantu tua itu hingga mereka berdua saling menyukai. Selain dia (Pembantu tua),  tidak ada orang pun di rumah itu yang peduli pada Mas Nganten yang merasa sangat sendirian. Bahkan dikunjungi oleh suaminya sendiripun jarang karena alasan kesibukannya sebagai seorang pembesar.
Suatu ketika terjadi masalah dalam rumah Bendoro yang ukurannya jauh lebih besar dari rumah-rumah yang ada di Kampung Nelayan tempat Gadis Pantai berasal. Tak disangka ternyata hal itu sampai membuat pembantu tua yang berkawan baik dengan Mas Nganten harus angkat kaki dari tempat ia mengabdikan dirinya selama bertahun-tahun untuk Bendoro. Semua itu bermula ketika pembantu itu mengkritik anak-anak yang ada di rumah (Agus) karena kesalahan yang telah mereka lakukan.
Setelah kepergian pembantu tua itu, pembantu berikutnya ternyata jauh berbeda dengan pembantu sebelumnya. Ia adalah Mardinah, seorang pelayan baru. Dia anak seorang jurutulis dari kota. Sikapnya berani kepada Gadis Pantai. Belakangan terungkap bahwa dia diutus bendoro putri bupati demak untuk mengupayakan agar anak bendoro putri bisa dikawini oleh suami Gadis Pantai. Mardinah diberi janji apabila berhasil maka dia akan diambil jadi istri kelima.
          Perlahan Gadis Pantai yang berasal dari kampung itu mulai menyadari bahwa pernikahannya dengan Priyayi itu hanyalah percobaan saja karena nantinya suaminya itu akan menikah dengan wanita segolongan ningrat seperti Bendoro. Tetapi dengan tabah dijalaninya semua takdir yang telah memaksanya masuk jauh lebih dalam pada kehidupan yang awalnya tidak diinginkannya.
Suatu hari Gadis Pantai mendapat ijin untuk mengunjungi orang tuanya di kampung. Disitu dia mengalami perubahan perilaku orang kampung terhadap dirinya. Dia dianggap Bendoro, priyayi bukan orang kampung lagi. Itu merupakan hal yang sangat menyedihkan dan menyakitkan buat Gadis Pantai.
Tiga tahun berjalan usia pernikahan Gadis Pantai dan Bendoro akhirnya ia di karuniai seorang buah hati yang sudah sangat dinanti-nanti oleh orang tua Gadis Pantai tapi tidak untuk Bendoro atau suaminya sendiri. Namun nasib buruk masih setia mengiringi kisah hidup Gadis Pantai, setelah mengetahui bayi yang dilahirkan Gadis Pantai ialah bayi perempuan, akhirnya Bendoro menceraikannya dan mengusirnya dari bangunan megah, istana Bendoro itu. Dan yang lebih menyayat hati, Gadis Pantai terpaksa harus meninggalkan darah dagingnya yang baru berusia beberapa hari itu karena perintah dari suaminya yang tega membuangnya begitu saja bagai sampah.
Dengan hati hancur Gadis Pantai meninggalkan anaknya di rumah si Bendoro. Malu dengan keadaannya yang tak bersuami, tak punya rumah, dan anaknya dirampas Bapaknya sendiri, Gadis Pantai memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halamannya sendiri. Tapi ia berbelok ke selatan, ke Blora. Selama sebulan setelah kepergiannya, ia selalu mengawasi keadaan rumah si Bendoro. Namun setelahnya, ia tak kelihatan lagi.

Pembahasan
Dari novel Gadis Pantai, didapatkan unsur sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaannya, yaitu tentang sistem sosial dalam budaya masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa terbagi menjadi tiga tipe yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan, yaitu kebudayaan abangan, santri, dan priyayi.
Golongan abangan adalah penganut kejawen yang sangat percaya akan adanya makhluk halus yang mempengaruhi kehidupan manusia,  seperti dalam praktek-praktek pengobatan, santet, magi dan  magis. Golongan Santri adalah suatu golongan yang menjalankan kaidah-kaidah agama Islam secara murni. Golongan ini biasanya terisi dari kalangan pedagang dan sebagian kecil petani. Sedangkan golongan priyayi adalah mereka yang kebangsawanannya dimiliki secara turun-temurun.
Menurut Geertz, golongan abangan adalah aspek-aspek animisme sinkretisme Jawa secara keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani desa dan sangat percaya akan eksistensi makhluk halus yang mempengaruhi kehidupan manusia,  seperti dalam praktek-praktek pengobatan, santet, dan magis.
Golongan Santri adalah lebih menekankan aspek-aspek Islam sinkretisme itu dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang dan unsur-unsur tertentu kaum tani serta menjalankan kaidah-kaidah agama Islam secara lebih murni, dengan melaksanakan secara cermat dan teratur asas-asas peribadatan Islam seperti shalat, puasa, dan haji.
Sedangkan golongan Priyayi adalah mereka yang berasal dari aristokrat, yang kebangsawanannya dimiliki secara turun-temurun. Mereka lebih menitikberatkan kepada elemen-elemen Hinduisme yang secara luas dihubungkan dengan unsur-unsur birokratis (Geertz, 1983 : 6).
            Priyayi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang kebanyakan, mereka hidup berkecukupan, seperti terlihat dari cuplikan dialog:
“Ya, orang kebanyakan seperti sahaya inilah, bekerja berat tapi makan pun hampir tidak.” (Pramoedya, 2003: 54)
dan pada cuplikan dialog:
”Bagi orang sudah tua seperti sahaya ini, siapa yang beri makan di sana? semua pada hidup susah.” (Pramoedya, 2003: 55).
Kemudian pada cuplikan dialog:
”Tambah mulia seseorang, Mas Nganten, tambah tak perlu ia kerja. Hanya orang kebanyakan yang kerja.” (Pramoedya, 2003: 68).
Karena kedudukannya yang dianggap lebih tinggi itu, para priyayi harus dihormati dan diperlakukan seolah raja oleh para kelas yang lebih rendah, hal ini tercermin dalam cuplikan dialog:
”Pada aku ini, Mas Nganten tak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan untuk Mas Nganten.” (Pramoedya, 2003: 27).
Dan pada cuplikan dialog
”Tidak mungkin orang kampung memerintah anak priyayi. Tidak bisa. Tidak mungkin.” (Pramoedya, 2003: 127)
            Para priyayi menganggap, orang dengan kelas lebih rendah dari dirinya adalah miliknya sepenuhnya. Oleh karena itu, ia berhak mengatur kehidupan mereka. Seperti dalam cuplikan dialog:
”Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan mesti kau kerjakan. Diamlah kau sekarang. Malam semakin larut.” (Pramoedya, 2003: 136)
            Pada dialog-dialog diatas, dapat tercermin bahwa para priyayi selalu merasa lebih tinggi dan berhak mengatur hidup kelas yang lebih rendah. Para priyayi bersikap sewenang-wenang karena mereka menganggap dirinya seperti raja.
            Jika seorang priyayi menikah dengan gadis dari tingkat kelas yang lebih rendah, maka gadis itu belum dianggap sebagai istri sahnya. Priyayi itu masih dianggap perjaka jika belum menikah dengan wanita dari kalangan yang sederajat dengannya. Seperti terlihat dari cuplikan dialog:
”Jadi Mas Nganten tahu siapa sahaya. Seseorang yang kebangsawanannya lebih tinggi dari Bendoro telah perintahkan sahaya kemari. Sudah waktunya Bendoro kawin benar-benar dengan seorang gadis yang benar-benar bangsawan juga. Di Demak sudah menunggu. Siapa saja boleh Bendoro ambil, sekalipun sampai empat.” (Pramoedya, 2003: 132)
Oleh karena itu, kaum priyayi Jawa merasa bahwa mereka memiliki kedudukan yang tinggi sehingga mereka layak dan pantas untuk dihargai. Sedangkan untuk kaum abangan, paradigma-paradigma seperti itulah yang membuat kaum abangan cenderung layak untuk ditindas dan dikucilkan oleh kaum priyayi karena keterbatasan apa yang mereka miliki sebagai petani atau nelayan.
Dan tugas bagi orang yang kedudukannya lebih rendah adalah mengabdi kapada para priyayi tersebut, seperti dalam cuplikan dialog:
”Apa salahku?”
”Salah Mas Nganten seperti salah sahaya, salah kita, berasal dari orang kebanyakan.”
”Lantas Mbok, lantas?”
”Kita sudah ditakdirkan oleh orang yang kita puji dan yang kita sembah buat jadi pasangan orang rendahan. Kalau tidak ada orang-orang rendahan, tentu tidak ada orang atasan.”
”Aku ini, Mbok, aku ini orang apa? rendahan? atasan?”
”Rendahan Mas Nganten, maafkan sahaya, tapi menumpang di tempat atasan.”
”Jadi apa yang mesti aku perbuat?”
”Ah, beberapa kali sudah sahaya katakan. Mengabdi, Mas Nganten. Sujud, takluk sampai tanah pada Bendoro...” (Pramoedya, 2003: 99)
            Kehidupan feodalisme seorang priyayi Jawa yang membentuk dominasinya terhadap masyarakat biasa di buku Gadis Pantai memperlihatkan kentalnya struktur kekuasaan yang dimunculkan dalam roman ini. Adab dan tidak berkemanusiaan, menjadi beberapa cerita yang berhasil digambarkan oleh Pram dalam sosok priyayi-priyayi Jawa pada roman ini.
Kau harus ingat, ingat mBok,” pemuda yang tergarang di antara  semuanya   menghantam, “kami adalah kerabat terdekat. Orang-orang kampung yang tinggal di sini, kapan saja bisa pergi buat mati kelaparan di luar sana. Kami tinggal di sini. Tinggal tetap di sini, biar seribu orang kampung keluar dari sini setiap  hari, mengerti?” (Pramoedya, 2003: 113)
            Kutipan di atas sebenarnya hanya salah satu dari beberapa hal yang dilukiskan oleh penulis dalam romannya ini. Sebuah bentuk hubungan dominasi sosial yang dipegang oleh kelompok priyayi dan keluarganya. Dalam roman ini dilukiskan dalam kelompok nelayan dan para bujang yang setia menjadi pembantu Bendoro (priyayi) di rumahnya dengan upah yang minim.

Penutup
Demikian sistem feodalisme Jawa dalam novel Gadis Pantai sebagai propaganda untuk menolak sistem kelas dan memperjuangkannya dituangkan dalam narasi-narasi, deskripsi tokoh dan perasaan tokoh, kemudian deskripsi kehidupan tokoh dan dalam dialog-dialog antartokoh.
Novel ini sangat kritis membicarakan feodalisme Jawa pada masa itu. Sebuah novel yang mungkin mewakilkan suara rakyat jelata, rakyat dari golongan bawah dalam sistem feodalisme Jawa, para priyayi yang bercokol di kaki-kaki pemerintah Belanda. Perbedaan yang sangat memilukan, bahwa status sosial sangatlah penting di masa itu. Golongan priyayi (termasuk kaum bendoro) adalah orang-orang suci yang sulit untuk disentuh, mereka berhak memperlakukan apa saja terhadap rakyat bawahnya, termasuk mengawini anak-anak gadis mereka dijadikan sebagai Mas Nganten yang akhirnya dicampakkan begitu saja.
Dalam novel ini terdapat pula isu-isu gender, penindasan laki-laki terhadap perempuan, pengekangan hak ibu terhadap anak, laki-laki yang bebas berpoligami, dan perempuan dijadikan budak nafsu baginya. Anggapan rakyat feodal bahwa anak laki-laki adalah anak yang bisa dibanggakan dan anak yang bisa meneruskan kekuasaannya, sehingga anak perempuan itu seperti manusia yang menyusahkan, tak berdaya dan tak dapat dibanggakan. Hal ini terlihat dari sikap sang Bendoro ketika ia tahu bahwa gadis pantai melahirkan seorang bayi perempuan, betapa murkanya ia.
Melalui roman ini Pram tampak mencemooh mentalitas priyayi, orang-orang yang menghindarkan diri dari tanggung jawab sosialnya dan menikmati kebudayaannya yang selalu dipuji dengan mendzalimi dan menghinakan sesama manusia. Pramoedya juga secara terang-terangan mencoba menggambarkan dunia kepriyayian yang penuh kesewenang-wenangan, tak berperasaan sebagaimana terlihat pada kalimat-kalimat berikut:
”Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini…..” (Pramoedya, 2003: 260)
”…..Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi.” (Pramoedya, 2003: 266)
Ah, tidak. Aku tidak suka pada priyayi. Gedung-gedung berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan. (Pramoedya, 2003: 268)
Roman ini tak memperlihatkan bagaimana usaha manusia, individu, untuk tetap dapat mempertahankan idealismenya. Hal ini tampak di akhir cerita ketika Gadis Pantai sudah diusir dari gedung, Gadis Pantai memutuskan untuk tidak kembali pada keluarganya di kampung nelayan yang selama ini sangat ia dirindukan. Namun Gadis Pantai lebih memilih pergi jauh. Gadis Pantai mampu menentukan jalan hidupnya sendiri. Seperti pada dialog:
”Tidak,  bapak, aku tak kembali ke kampung. Aku mau pergi jauh!” (Pramoedya, 2003: 269).
Feodalisme Jawa berkembang seolah-olah tidak akan punah. Namun kebudayaan Jawa dapat bertahan karena feodalisme bukanlah sesuatu yang harus dilihat dengan kacamata benar dan salah, melainkan sesuatu yang telah ada, harus dilaksanakan dan dikerjakan. Dengan sistem birokrasi itu identitas budaya lokal semakin terkikis dan mengakibatkan lahirnya generasi lokal yang memiliki rasa rendah diri dengan identitas kultural lokalnya. Namun pelajaran yang paling mudah diambil dalam novel Gadis Pantai adalah bahwa dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak boleh membeda-bedakan sesama manusia, sebab manusia memiliki derajat yang sama di mata Tuhan.



Daftar Pustaka
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta : Pustaka Jaya
Hans Antlov dan Sven Cederroth, “Kepemimpinan Jawa : Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter” (Yayasan Obor Indonesia : Jakarta, 2001), h.xii. (http://www.persekutuanstudireformed.org/artikel/s8.html#_ftn7, diunduh pada 20 Mei 2012)
Hidayat, Endang dan Widjojoko. 2006. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung : UPI Prees
Jassin, H.B. 1970. Heboh Sastra 1968 Suatu Pertanggung Jawab. Jakarta: Gunung Agung
Manifes Kebudayaan. 1963. Dokumentasi Kesusastraan H.B. Jassin. Jakarta
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Siswanto, Wahyudin Dr. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Tim Penyusun Kamus. 2007. Kamus BesarB ahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara

3 komentar: