DI BIBIR
LAUT MERAH
Cerpen M. Shoim Anwar
Laut menghampar dari pantai hingga batas
tak terhingga. Ini adalah Laut Merah. Ombak besar tak juga datang. Hanya
semacam geligir bergerak di permukaan. Udara terasa panas. Butir-butir pasir
digoreng matahari. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai menyengat sepanjang
garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak sepi. Katrol di ujung dermaga
juga masih berdiri kokoh dalam kehampaan. Tiang-tiang pengikat seperti tak
pernah jenuh menanti kapal-kapal yang merapat dari negeri jauh melalui Lautan
Hindia atau Terusan Suez, atau dari negeri di sebelah barat, mungkin Mesir,
Sudan, Eritrea, atau angkutan domestik yang memilih jalur laut. Di bibir Laut
Merah, dari Yaman hingga perbatasan Yordania, cuaca terasa membara.
Sementara tak jauh di sebelah utara sana
terlihat sekelompok bangunan di rimbuni
pohon-pohon kurma. Burung-burung datang dan pergi dari sana. Seekor gagak masih
tampak menuju ke arahnya. Sedangkan beberapa burung laut berpunggung perak
beterbangan menyisir permukaan air. Seorang polisi berseragam biru tua berdiri
di depan posnya. Sesekali dia meninggalkan tempatnya beberapa meter, mungkin
membunuh kejenuhan, lantas kembali ke tempat semula.
Perempuan itu masih juga berdiri di atas
tanggul. Pada ujungnya yang terkesan patah karena belum selesai, dia menatap ke
arah laut. Tubuhnya tampak jauh mencuat karena tinggi tanggul jauh dari
permukaan tanah. Dia telah naik dengan agak susah setelah bersembunyi pada
bangunan patung-patung abstrak yang menyebar di wilayah pantai. Dengan cepat
dia berjalan mengikuti alur tanggul. Makin lama makin tinggi karena tanah
pemijaknya mengalami abrasi. Sekarang dia berada di ujungnya. Perempuan itu
kini melihat ke bawah. Ada rasa merinding di tengkuknya ketika dia melihat ke
bawah.
“Hai…!”
seru polisi dari arah pos. Perempuan tadi menoleh dengan tatapan dingin,
tak menjawab. Tampak ada sesuatu yang mengusik dirinya. Polisi berjalan mendekat sambil telunjuknya
diacung-acungkan ke kiri-kanan. Bibir perempuan tadi seperti mau bergetar.
“Ismiy Sulastri. Ana Indonesiya,” kata perempuan
tadi terbata-bata, menujukkan nama dan asalnya.
“Sulatsriy…?”
sang polisi menegaskan. Perempuan itu mengangguk.
“Wa
maadzaa sataf’aliina ya Sulatsriy?” sang polisi kembali bertanya apa yang
akan dikerjakan Sulastri. Perempuan itu tak menjawab. Polisi berbaret biru dan
berkulit gelap itu memberi isyarat agar Sulastri turun dari tanggul.
“Na’am?”
lelaki itu meminta.
“Laa,”
Sulastri menggeleng pelan.
Permintaan diulang beberapa kali.
Sulastri tetap menolak untuk turun. Sang polisi mulai kehilangan kesabaran. Raut
wajahnya yang coklat gelap tampak menegang. Dia
berjalan cepat menuju patahan tanggul yang belum selesai, kemudian
menaiki bongkahan-bongkahan batu. Terdengar dia menyeru kembali. Muncul
kekhawatiran pada diri Sulastri. Ketika polisi itu hampir sampai di atas
tanggul, Sulastri bergerak menjauh, makin cepat dan cepat. Sang polisi
mengikuti dengan langkah cepat pula. Keduanya tampak seperti berkejaran.
Sesampai di ujung, Sulastri menyelinap
kembali pada area patung-patung abstrak. Polisi pun kembali ke posnya.
Sulastri tahu, polisi tak akan
menangkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik.
Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga
teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan
dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang
setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para
perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang
yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu real per orang, konon polisi
akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi
akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah
yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang
sudah diserahkan tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para
perantara ternyata berasal dari negeri Sulastri sendiri.
Cuaca makin panas. Laut Merah tampak
berkilau-kilau memantulkan sinar matahari. Hamparan pasir mendidih, meliuk-liuk
di permukannya. Sejenak angin bertiup tipis. Serpihan-serpihan sampah bergerak
menjauhi pantai. Di ujung tanggul
Sulastri kembali berdiri. Persis di tempat yang tadi ditinggalkan. Sang
polisi melihatnya dari kejauhan. Kali ini lelaki itu tak ingin repot, bibirnya
mengatup hingga kumisnya tampak makin tebal.
Di bibir Laut Merah, Sulastri teringat ketika tercenung di tepi Bengawan
Solo. Dari Desa Tegal Rejo dia menatap ke seberang sungai ke arah Desa Titik.
Tampak ada kuburan yang dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada seorang lelaki
bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan
anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. Lelaki itu bernama Markam,
suami Sulastri. Suatu kali Markam pulang dengan berenang menyeberangi Bengawan
Solo.
“Sudah dapat?” tanya Sulastri. Seperti
biasa, Markam tak menjawab. Wajahnya tampak pucat. Kumis dan jenggotnya
memanjang menutup sepasang bibir yang bungkam. Tetesan air masih jatuh dari
pakaiannya yang basah.
“Tanam tembakau di tepi bengawan makin
tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah
anak-anak akan kauberi makan keris dan tombak tua?”
Kesabaran Sulastri mengikis. Kali ini dia
mengambil buku yang dulu sering dibaca dan diceritakan Markam. Buku yang telah
kumal itu disodorkan ke muka suaminya hingga menyentuh ujung janggut.
“Kau bukan Siddhartha, sang pertapa
Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan
anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan
untuk aku dan anak-anak!”
Markam hanya menjulingkan bola matanya,
masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali
menyeberangi bengawan. Di sini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk
kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Museum Trinil tempatnya
bekerja telah ditinggalkan begitu saja. Ini berawal saat dia menuruni lembah
berbatu di belakang museum itu. Dia menuju ke aliran Bengawan Solo yang curam.
Dari sana dia menghanyutkan diri hingga ke Tegal Rejo. Pertapaan pun dimulai
hingga kini.
Bayangan tentang sang suami menghablur.
Sulastri kembali menatap hamparan laut. Burung-burung mengeluarkan bunyi
cericitnya sambil menyambar-nyambar. Gelombang tiba-tiba datang. Laut Merah
bergolak. Ada pulasan-pulasan dan gelembung udara naik ke permukaan. Makin lama
makin besar. Sulastri terjingkat. Sesosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang
sering diingat sebagai sang penerkam sekonyong-konyong muncul dari dalam laut.
Sulastri menjerit menyebut namanya.
“Firauuun…!”
Ya, Firaun. Lelaki bertubuh gempal itu
merayap menaiki tanggul. Otot-ototnya tampak kekar, wajahnya kotak, matanya
cekung, dan tubuhnya cenderung pendek, serta dada terbuka. Dengan pakaian
gemerlap yang menutup pusar hingga lutut Firaun
telah sampai di atas tanggul. Dia berdiri tegak sambil tertawa,
mengibas-ngibaskan anggota badan. Di hadapannya, tubuh Sulastri bergetar.
Sendi-sendinya seperti hendak rontok. Perempuan itu menoleh ke sana ke mari
dengan tergesa, mencari-cari orang yang
dikenal sebagai penolong. Di pos sana ada polisi. Sulastri berteriak padanya
untuk minta tolong. Tapi sang polisi tak memberi reaksi berarti, dia hanya
melambaikan tangan beberapa saat seperti mengucapkan selamat tinggal, kemudian
kembali masuk pos.
“Tak usah takut hai budak!” kata Firaun.
“Aku bukan budak.…”
“Ooo… siapa yang telah membayar untuk
membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”
Sulastri tak menjawab. Dia terus
melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan
lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulastri dengan cepat berbalik arah
dan berlari.
“Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini
untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke
hadapanku!”
Sulastri terus berlari. Firaun
melangkahkan kakinya, makin cepat dan cepat, lalu berlari. Bunyi mendebam
terasa di atas tanggul. Dari kejauhan terlihat seperti gadis kecil dikejar oleh
raksasa. Firaun menyeru-nyeru agar Sulastri berhenti, tapi yang dikejar tak
menghirau. Jarak pun makin dekat. Sulastri makin memeras tenaga. Polisi penjaga
pantai sudah pasti tak menolognya. Sementara Firaun melejit makin garang. Sulastri meloncat dari atas tanggul.
Sulastri terhenyak. Di depannya muncul
seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar,
berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih menutup perut hingga
lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Wajah tampak teduh. Tangan
kanannya membawa tongkat dari kayu kering. Mulut Sulastri bergetar menyebut
nama lelaki di hadapannya, “Ya, Musa….”
Lelaki itu manggut-manggut. Tangan kirinya
diangkat. Sementara Firaun yang tadi memburu tampak berdiri kokoh di atas
tanggul. Angin bergolak di sana.
“Tolonglah saya, ya Musa,” pinta
Sulastri.
“Kau masuk ke negeri ini secara haram.
Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.
“Saya ditelantarkan suami, ya Musa.”
“Suamimu seorang penyembah berhala.
Mengapa kau bergantung padanya?”
“Saya seorang perempuan, ya Musa.”
“Perempuan atau laki diwajibkan mengubah
nasibnya sendiri.”
“Negeri kami miskin, ya Musa.”
“Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau
lihat, di sini kering dan tandus.”
“Kami tidak punya pekerjaan, ya Musa.”
“Apa bukan kalian yang malas hingga suka
jalan pintas?”
“Kami menderita, ya Musa.”
“Para pemimpin negerimu serakah.”
“Kami tak kebagian, ya Musa”
“Mereka telah menjarah kekayaan negeri
untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
“Kami tak memperoleh keadilan, ya Musa.”
“Di negerimu keadilan telah jadi
slogan.”
“Tolonglah saya, ya Musa.”
“Para pemimpin negerimu juga tak bisa
menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang
dagangan yang murah.”
“Tolonglah saya, ya Musa….”
Sontak angin datang bergemuruh. Lelaki
yang dipanggil sebagai Musa menghablur dalam pandangan Sulastri. Dari atas
tanggul Firaun tertawa makin keras dan berjalan turun. Sulastri berlari
kembali. Dia menuju ke polisi yang tadi dilihatnya. Langkahnya terasa lebih
berat karena menginjak pasir. Dia terengah-engah sampai di depan sang polisi.
“Wa
maadzaa turiidiina aidlon?” polisi
bertanya apa lagi yang diinginkan
Sulastri.
“Tolong… tolonglah saya.…”
Polisi menggeleng-geleng sambil
menunjuk-nunjuk ke tempat lain. Di bawah sinar matahari Sulastri terus berlari
menyisir bibir Laut Merah. Di belakangnya suara Firaun terdengar meraung-raung.
Makin dekat dan dekat. Bunyi mendebam sudah
benar-benar di belakang Sulastri. Dan Firaun memang sudah hampir
menangkapnya. Tangan Firaun yang kekar
meraih baju Sulastri dari belakang. Baju itu robek dan tertinggal di genggaman
Firaun. Sulastri terus memacu langkahnya yang hapir putus. Firaun makin menggeram.
Kali ini rambut Sulastri yang panjang dijambak dan ditarik kuat-kuat oleh
Firaun. Rambut itu pun jebol dari akarnya.
Saat Sulastri oleng dan kehabisan nafas,
lelaki yang tadi dipanggil sebagai Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapannya.
Tapi kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya
sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat itu
juga Sulastri merasakan ada benda di genggamannya. Makin nyata dan nyata. Benda
itu adalah tongkat. Sulastri memegang
kuat-kuat dengan kedua tangannya.
Angin bertiup amat kencang mengelilingi tubuh Sulastri. Dia
merasakan tubuhnya menjadi amat ringan. Ada kekuatan yang memompa dirinya.
Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam,
perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar
yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa
licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin
kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam
ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat
binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.
Sulastri mendapati dirinya bersimpuh di
pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada
diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak
bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari
anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, memekik melengking
ke telinga Sulastri. []
Surabaya,
September 2011
M. SHOIM
ANWAR
Lahir di Desa
Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Setamat dari SPG di kota kelahirannya, dia
melanjutkan pendidikan ke IKIP Surabaya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, kemudian
diteruskan ke Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya untuk S-2 dan
S-3. Dia pernah mengajar di SD, SMP,
SMA, dan Perguan Tinggi. Dia juga pernah mengasuh acara sastra di radio (RKPD
Jombang), anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur, ketua Komite Sastra
Dewan Kesenian Jawa Timur, dan redaktur majalah kebudayaan Kali Mas dan Kidung.
Shoim tiga kali berturut-turut menjadi juara pada lomba
menulis cerpen yang diadakan Dewan
Kesenian Surabaya (1988, 1989, 1990), dan beberapa kali
menjuarai lomba penulisan cerpen dan esai yang diadakan Depdiknas (2001,
2002, 2003, 2005, 2006, 2007), serta mendapatkan Penghargaan Seni dari Gubernur
Jawa Timur (2008). Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia,
Inggris, dan Prancis. Kumpulan cerpennya: Oknum
(Gaya Masa,1992), Musyawarah Para
Bajingan (Gaya Masa,1993), Limau
Walikota (ed., Surabaya Post, 1993), Pot
dalam Otak Kepala Desa (Dewan Kesenian Surabaya, 1995), Bermula dari Tambi (ed., Dewan Kesenian
Jatim, 1999), Soeharto dalam Cerpen
Indonesia (ed., Bentang, 2001), Sebiji
Pisang dalam Perut Jenazah (Tiga Serangkai, 2004), Perempuan Terakhir (Grasindo,
2004), Asap Rokok di Jilbab Santi (Jaring Pena, 2009). Novelnya yang sudah dipublikasikan Meniti Kereta Waktu (SIC, 1999) dan
cerita bersambungnya adalah Sang
Pelancong, Angin Kemarau, Tandes, serta Elies.
Di samping mengajar, Shoim banyak menulis di berbagai media massa, menjadi
pembicara dan membacakan cerpen-cerpennya di berbagai wilayah tanah air,
termasuk di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Sumber cerpen: Horison Oktober
2011
ESAI DI BIBIR LAUT MERAH
Kritik
Sosial Terhadap Pemerintah
Cerpen
Di Bibir
Laut Merah adalah salah satu karya
dari M. Shoim Anwar. Cerpen ini menceritakan tentang seorang istri yaitu
Sulastri yang ditelantarkan oleh suaminya, Markam yang suka menyembah berhala,
maka Sulastri lebih memilih menjadi tenaga kerja di luar negeri untuk membiayai
kebutuhan keluarganya. Namun seketika tokoh Fir’aun hadir untuk menindas
Sulastri karena dianggap sebagai budak bagi Fir’aun, tak lama kemudian tokoh
Musa hadir untuk menolong Sulastri dari kejaran Fir’aun.
M. Shoim Anwar adalah
seorang penulis yang dapat dibilang cukup produktif dalam menghasilkan sebuah
karya terbukti dalam tiga kali berturut-turut ia menjadi juara pada
lomba menulis cerpen yang diadakan Dewan
Kesenian Surabaya (1988, 1989, 1990), dan beberapa kali
menjuarai lomba penulisan cerpen dan esai yang diadakan Depdiknas (2001,
2002, 2003, 2005, 2006, 2007), serta mendapatkan Penghargaan Seni dari Gubernur
Jawa Timur (2008). Di samping
pekerjaannya yang mengajar SD, SMP,
SMA, dan Perguan Tinggi. Dia juga pernah mengasuh acara sastra di radio (RKPD
Jombang), anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur, ketua Komite Sastra
Dewan Kesenian Jawa Timur, dan redaktur majalah kebudayaan Kali Mas dan Kidung, Shoim juga
menulis di berbagai media massa, menjadi pembicara dan membacakan
cerpen-cerpennya di berbagai wilayah tanah air, termasuk di Taman Ismail
Marzuki, Jakarta.
Karya sastra memang tidak pernah terlepas oleh realitas
termasuk dalam cerpen Di Bibir Laut Merah.
Dalam cerpen ini M. Shoim Anwar ingin menyampaikan kritikan keras terhadap bangsa Indonesia
yang banyak mengirim tenaga kerja keluar negeri secara ilegal dan banyaknya
kasus korupsi di Indonesia sehingga rakyat pun memilih jalan pintas sebagai
tenaga kerja diluar negeri. Di Bibir Laut
Merah merupakan tempat yang di kisahkan oleh Fira’un dan Musa dari Yaman
sampai Yordania, sudut pandang yang dilakukan oleh penulis adalah sudut pandang
ketiga yaitu orang serba tau atau sebagai pengamat karena orang ketiga ini
sangat mengetahui perasaan Sulastri ketika ia bertemu dengan Fir’aun dan Musa,
kemudian saat berhadapan dengan polisi penjaga pantai dan perasaannya ketika ia
dan anak-anaknya ditelantarkan oleh suaminya.
Segi menarik pada cerpen Di
Bibir Laut Merah yaitu terdapat pada penokohannya karena Shoim memunculkan
tokoh yang bernama Fir’aun dan Musa sebagai pemunculan konflik dan mempertegas
latar tempat Timur Tengah yang memang terdapat pula kisah nyata dari mereka
yang sekarang telah menjadi bagian dari sejarah. Fir’aun digambarkan sebagai
seorang yang mempuyai otot yang tampak
kekar, wajahnya kotak, matanya cekung, dan tubuhnya cenderung pendek, serta
dada terbuka dengan pakaian gemerlap yang menutup pusar
hingga lutut, maka Fir’aun digambarkan
sebagai penguasa serakah yang hanya mementingkan kebahagiaan mereka sendiri, menjarah
kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga dan para cukongnya, menjadikan
warga masyarakatnya sebagai budak yang hanya dibutuhkan saat pemilu saja.
Sedangkan Musa digambarkan sebagai seorang penolong Sulastri dari kejaran
Fir’aun dan yang menyadarkan Sulastri tentang kehidupannya di Indonesia bersama
suaminya dan tentang pemerintahan Indonesia yang serakah dan suka menjarah
kekayaan di negerinya sendiri.
Beberapa konflik
yang juga merupakan bagian menarik yaitu
tentang pemerintahan yang hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan
rakyatnya yang telah memilih para pemimpin namun seketika itu rakyat pun
ditelantarkan setelah pemimpin terpilih, kemudian sebuah keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi
kini hanya dijadikan sebuah slogan. Serta terjadinya tindak korupsi antara para
petinggi negeri, hal ini diungkapkan saat percakapan antara Musa dengan Sulastri. Dalam cerpen ini M. Shoim Anwar menggambarkan
tindak korupsi terjadi ketika perantara dan polisi setempat bekerjasama untuk
menangkap orang-orang seperti Sulastri dan mendapatkan uang setidaknya seribu
real per orang, kemudian menyerahkan mereka pada kedutaan untuk di deportasi.
Hal ini merupakan realitas dari seluruh negara yang makin memburuk dan tetap
menindas rakyat tanpa pandang bulu.
Pesan yang dapat kita ambil dalam cerpen Di Bibir Laut Merah adalah bagaimana
cara kita untuk menjadi seseorang yang mempunyai keperibadian yang baik yaitu
dengan tidak hanya bergantung kepada orang lain tetapi juga berusaha, karena
laki-laki dan perempuan dapat mengubah nasibnya sendiri dengan berusaha
semaksimal mungkin maka Allah akan membantu umatnya yang sudah berusaha, kemudian
menegakkan keadilan bagi diri sendiri maupun orang lain tidak hanya sebagai
selogan tetapi harus dilaksanakan dengan keteguhan hati agar dapat membedakan
hak bagi diri sendiri maupun hak bagi orang lain.
Tema yang terdapat pada cerpen Di Bibir Laut Merah adalah sebuah kritikan sosial terhadap para
pemimpin negeri yang yang hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memperhatikan kehidupan
sosial dan ekonomi rakyatnya serta banyaknya pengiriman tenaga kerja ilegal
yang dilakukan oleh banyak pihak. Kritikan sosial ini digambarkan ketika
percakapan Musa dengan Sulastri dan Musa yang menolong Sulastri dengan
memberikan tongkatnya untuk terlepas dari jeratan Fir’aun. Tongkat tersebut
merupakan simbol dari agama, jika kita percaya kepada Allah maka akan
dilindungi dan selalu mendapat pertolongan dari Allah dan kita akan
diselamatkan dari macam bentuk kejahatan, sehingga kita mendapatkan kehidupan
yang lebih baik, kebahagiaan didunia dan diakhirat serta peduli dengan sesama
manusia.
0 komentar:
Posting Komentar