Mada adalah sosok anak yang cerdas
dan aktif yang menjadi figur temen-teman sekolahnya. Namun di atas pentas
berlangsung setelah beberapa tahun kisah perjalanan Mada mencari Gunadarma
berlalu. Dalam pentas Mada tidak di ceritakan karena kini Mada sudah tidak ada.
Dia hilang dalam pergaulan, menyendiri di sebuah desa terpencil. Kabarnya Mada
sering mengisi luang waktu untuk mengajar anak pedalaman di desa tersebut. Kini
kawan-kawan mada telah berusia 30-an tahun dan mereka kembali menceritakan
bahwa peristiwa perjalanan itu sebagai sesuatu yang tidak istimewa. Mereka
menyatakan bahwa cara pencarian jati diri seperti yang dilakukan Mada adalah
sesuatu yang tidak lagi kontekstual alias jadul untuk diikuti oleh sebagian
dari mereka yang bergenerasi di zaman modern seperti ini.
Tempat dimana mereka hidup di suatu
kota terdapat menawarkan banyak pilihan untuk mengelola berbagai potensi yang
dimilikinya dengan pola mengotak-kotakkan mereka dalam berbagai profesi yaitu
komunitas, organisasi, politik, lembaga karir, wadah profesi dan perkumpulan
keagamaan. Wahana itu malah membuat mereka lupa diri dan membuat lalai untuk
menguak kesejatian diri mereka yang hakiki. Dengan demikian mereka membuat
dirinya sendiri sebagai seorang individu yang pasif yang membuat mereka
menerima nilai dan sistem kerja yang sudah ada begitu saja. Maka yang
melatarbelakanginya yakni kegagalan setiap individu untuk memahami sebuah
proses dengan penuh dedikasi dan loyalitas. Kenyataan ini tak lepas adanya
fenomena instansi di berbagai aspek kehidupan hingga terjadi desakralisasi pada
esesi kemanusiaan.
Terdapat dua tokoh yang hidup dan
hadir dalam subtansi kehidupan nyata. Pertama adalah mbah Linglung, guru
Gunadarma adalah seorang tokoh yang dikagumi oleh Mada. Tokoh yang kedua adalah
Pak Cakra, seorang pengerajin cermin yang menolong Mada di tengah perjalanan
menuju desa Purnarasa. Kedua tokoh ini hidup sebagai orang biasa di antara
kawan-kawan Mada yang mengalami pergaulan dalam proses meraih cita-citanya
Keduanya hadir dalam ketidakberdayaan dan kesulitan generasi muda untuk menjaga
dedikasi dan loyalitas pada sebuah proses mengolah kesejatian diri. Setelah 20
tahun yang lalu mereka gagal mengikuti perjalanan Mada, kini mereka menjalani
hidupnya masing-masing. Tapi semua teman Mada menghadapi jurang kegagalan,
mereka tidak memiliki daya tahan yang baik dan mereka tak mampu belajar dari
kegagalan di masa lalu. Semua hanyalah sekedar obsesi dan kekaguman buta pada
sosok idolanya. Di kota yang mengurung mereka dalam berbagai kepentingan
pragmatisnya begitu sulit ditembus, betapapun nampak indah dan serba mudah.
Maka dalam teater Mada ini memberi
tahu bahwa setiap orang yang terobsesi menjadi seperti idolanya maka mereka
masuk kedalam dunia yang terkotak-kotak sehingga mereka menjadi lupa akan jati
diri mereka sendiri. Setelah mereka mencapai titik kegagalan maka mereka lemah
akan daya tahan duniawi karena mereka tak mampu belajar dari kegagalan di masa
lalu. Yang ingin disampaikan adalah setiap orang mempunyai jati dirinya
masing-masing, boleh mengidolakan seseorang tetapi tidak berlebihan atau tidak
berobsesi menjadi idola tersebut karena semua hanyalah kekaguman buta pada
sosok idolanya.
0 komentar:
Posting Komentar