Senin, 06 Januari 2014

Resume Teater Mada



            Mada adalah sosok anak yang cerdas dan aktif yang menjadi figur temen-teman sekolahnya. Namun di atas pentas berlangsung setelah beberapa tahun kisah perjalanan Mada mencari Gunadarma berlalu. Dalam pentas Mada tidak di ceritakan karena kini Mada sudah tidak ada. Dia hilang dalam pergaulan, menyendiri di sebuah desa terpencil. Kabarnya Mada sering mengisi luang waktu untuk mengajar anak pedalaman di desa tersebut. Kini kawan-kawan mada telah berusia 30-an tahun dan mereka kembali menceritakan bahwa peristiwa perjalanan itu sebagai sesuatu yang tidak istimewa. Mereka menyatakan bahwa cara pencarian jati diri seperti yang dilakukan Mada adalah sesuatu yang tidak lagi kontekstual alias jadul untuk diikuti oleh sebagian dari mereka yang bergenerasi di zaman modern seperti ini.
            Tempat dimana mereka hidup di suatu kota terdapat menawarkan banyak pilihan untuk mengelola berbagai potensi yang dimilikinya dengan pola mengotak-kotakkan mereka dalam berbagai profesi yaitu komunitas, organisasi, politik, lembaga karir, wadah profesi dan perkumpulan keagamaan. Wahana itu malah membuat mereka lupa diri dan membuat lalai untuk menguak kesejatian diri mereka yang hakiki. Dengan demikian mereka membuat dirinya sendiri sebagai seorang individu yang pasif yang membuat mereka menerima nilai dan sistem kerja yang sudah ada begitu saja. Maka yang melatarbelakanginya yakni kegagalan setiap individu untuk memahami sebuah proses dengan penuh dedikasi dan loyalitas. Kenyataan ini tak lepas adanya fenomena instansi di berbagai aspek kehidupan hingga terjadi desakralisasi pada esesi kemanusiaan.
            Terdapat dua tokoh yang hidup dan hadir dalam subtansi kehidupan nyata. Pertama adalah mbah Linglung, guru Gunadarma adalah seorang tokoh yang dikagumi oleh Mada. Tokoh yang kedua adalah Pak Cakra, seorang pengerajin cermin yang menolong Mada di tengah perjalanan menuju desa Purnarasa. Kedua tokoh ini hidup sebagai orang biasa di antara kawan-kawan Mada yang mengalami pergaulan dalam proses meraih cita-citanya Keduanya hadir dalam ketidakberdayaan dan kesulitan generasi muda untuk menjaga dedikasi dan loyalitas pada sebuah proses mengolah kesejatian diri. Setelah 20 tahun yang lalu mereka gagal mengikuti perjalanan Mada, kini mereka menjalani hidupnya masing-masing. Tapi semua teman Mada menghadapi jurang kegagalan, mereka tidak memiliki daya tahan yang baik dan mereka tak mampu belajar dari kegagalan di masa lalu. Semua hanyalah sekedar obsesi dan kekaguman buta pada sosok idolanya. Di kota yang mengurung mereka dalam berbagai kepentingan pragmatisnya begitu sulit ditembus, betapapun nampak indah dan serba mudah.

            Maka dalam teater Mada ini memberi tahu bahwa setiap orang yang terobsesi menjadi seperti idolanya maka mereka masuk kedalam dunia yang terkotak-kotak sehingga mereka menjadi lupa akan jati diri mereka sendiri. Setelah mereka mencapai titik kegagalan maka mereka lemah akan daya tahan duniawi karena mereka tak mampu belajar dari kegagalan di masa lalu. Yang ingin disampaikan adalah setiap orang mempunyai jati dirinya masing-masing, boleh mengidolakan seseorang tetapi tidak berlebihan atau tidak berobsesi menjadi idola tersebut karena semua hanyalah kekaguman buta pada sosok idolanya.

0 komentar:

Posting Komentar